Home » , » Hakekat Sya’ban

Hakekat Sya’ban

Written By Unknown on Senin, 02 Juli 2012 | 20.52


 

Sya’ban dalam bahasa Arab berasal dari kata sya’aba artinya memancar, berpencar, bercabang. Sejarah munculnya nama bulan tersebut berasal jauh sebelum Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW datang. Nama itu berasal dari sebuah kebiasaan bangsa Arab pada saat itu yang berpencar keluar rumah untuk mencari air. Mereka mengambil jalannya masing-masing. Satu sama lain berbeda dari segi arah jalan dan cara mencari airnya. Berpencarnya mereka mencari air adalah makna dari Sya’ban. Ketika air itu ditemukan, lalu memancarlah mata air. Mata air yang memancar ini juga disebut sebagai sya’ban.

Dari segi etimologi, kata Sya’ban mengandung makna yang cukup dalam. Istilah memancar juga bisa dipakai untuk penyebutan cahaya. Pada contoh ini, kata itu dapat digandeng menjadi “cahaya yang memancar”.

Penyebutan Sya’ban menjadi nama bulan bukanlah sekedar cerita sejarah. Akan tetapi, adanya penyandaran kata itu kepada hal-hal yang menjadi sumber kehidupan menunjukkan bahwa kata Sya’ban memiliki keistimewaan makna tersendiri, yakni “memancar” yang dipakai dan disandarkan kepada cahaya dan air menjadi makna lain yang lebih mendalam. Ia bukan sekedar nama.

Mari kita kembali mengingat tentang penghitungan tahun hijriyah yang didasarkan pada lunar system (sistem bulan). Yaitu penghitungan tahun yang bersandarkan pada bulan yang mengelilingi bumi.

Bulan tidaklah bercahaya. Adapun, jika bulan bercahaya, maka cahayanya hanyalah pantulan dari cahaya matahari. Dalam hal ini, yang menjadi sumber cahaya adalah matahari. Cahaya matahari yang memantul pada bulan dapat disaksikan dari arah bumi. Jadi, terlihatnya bulan karena cahaya matahari terlihat dari bumi.

Konsep-konsep alam fisika adalah simbolisasi (tasybiih) dari alam metafisika. Apa yang disimbolkan sebagai bulan adalah manusia yang berkedudukan sebagai insan. Seluruh alam semesta tidaklah memiliki cahaya. Karena cahaya itu hak mutlak Allah swt. Konsep bulan yang tidak disinari cahaya matahari adalah sama dengan manusia yang tidak disinari cahaya Allah swt.. Hanya Tuhanlah yang memiliki cahaya. Cahaya manusia berasal dari Tuhan. Seperti bulan, manusia mendapatkan cahayanya dari pantulan cahaya Tuhan. Sebagaimana firman Allah:

Artinya: “Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Yunus (10) : 6)

Cahaya Tuhan yang memancar adalah makna dari mekanisme alam-alam. Tak ada satupun makhluk yang bercahaya, kecuali ia mendapatkan pantulan dari cahaya Tuhan. Cahaya itu berlapis dan membentuk gradasi hingga meniadakan wujud makhluk. Makhluk menjadi seperti berwujud oleh karena pantulan cahaya Tuhan. Padahal makhluk sama sekali tidak memiliki wujud. Sifat Wujud hanya ada dan dimiliki Allah swt.

Allah berfirman : “Allah adalah cahaya langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Annuur : 35)

Pancaran yang dinisbatkan pada kata Sya’ban mengandung hakekat pemahaman bahwa pancaran cahaya Allah telah melimpah pada manusia. Limpahan cahaya itu menjadi sebuah kesadaran yang mendalam dan membawa manusia untuk mengaktualisasikan kepribadian yang “menuhan”. Kepribadian inilah yang dikatakan insan. Insan itulah yang menerima cahaya-Nya, sehingga ia bisa mencapai maqamat insan kamil.

Jika penisbatan insan kamil (manusia sempurna) merujuk pada sosok jasad (wadag) kasar, maka hal kesempurnaan tersebut menjadi mustahil. Karena manusia dalam pengertian jasadi, tidak akan bisa mencapai kesempurnaannya. Kesempurnaan hanyalah milik insan. Siapakah insan? Dari mana sosok itu muncul?

Sosok insan tidak lain adalah Rasul. Dialah yang menyandang sebagai ciptaan awal, atau akal universal, atau Nur Muhammad, atau Nur awal. Dialah Rahmat Allah yang menyebar ke seantero alam. Dialah sosok yang menggerakkan segala sesuatu, membuat manusia menjadi hidup dan memiliki indera. Munculnya mekanisme pertumbuhan. Munculnya sebuah gerak bagi alam fisika. Dan segala sesuatu yang merupakan ciptaan (makhluk).

Rasul bukanlah Tuhan. Tetapi Tuhan bukan sesuatu yang lain dari Rasul. Kesaksian Rasul disanding kepada kesaksian Tuhan, sehingga membentuk dua kalimat Syahadat. Dan dua kalimat itu diucapkan oleh jasad kasar yang bernama manusia. Artinya, kalimat “aku bersaksi” itu menunjukkan sebuah kepribadian yang menjadi insan. Ia menerima limpahan cahaya Allah. Bukan jasadnya, tapi insannya. Ketika pribadi telah menjadi insan, ia meniscayakan gerak jasad sesuai dengan cahaya Allah. “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah”.

Mengapa puncak fadhilah amal di bulan Sya’ban berada pada pertengahannya (malam tanggal 15)? Hal ini mengambil makna simbolik dari bulan purnama penuh yang terjadi pada tanggal 15. Bulan purnama penuh adalah simbolisasi dari pancaran cahaya Allah yang penuh pada diri insan. Momentum bulan purnama penuh, dijadikan perenungan yang mendalam akan hakekat cahaya Allah yang memancar dengan penuh pada diri insan. Sesuai dengan namanya, Sya’ban bermakna pancaran.

Dari segi fadhilah amal, diantaranya adalah shalat tasbih pada pertengahan bulan Sya’ban (Nishfu Sya’ban). Tasbih dijadikan dasar untuk mencapai cahaya Allah. Sebab Allah Maha Suci. Tidak akan bisa mencapai kepada yang Maha Suci kecuali setelah penyucian. Makna tasbih adalah penyucian. Sekali lagi, penyucian yang dimaksud tidaklah sekedar merujuk pada penyucian jasad. Akan tetapi, ia merujuk pada penyucian akal untuk mencapai puncak kemurniannya. Sehingga gerak jasad akan mendapatkan perintahnya dari puncak kemurnian akal. Proses tersebut harus dimaknai menjadi pencucian otak (brain-wash) agar ia terlepas dari segala belenggu yang berasal dari persepsi penampakan. Hakekat kekotoran adalah akal yang terbelenggu dan hakekat kesucian adalah akal yang merdeka. Semua itu hanya berada pada cara pandang akal kepada sesuatu; apakah pandangan itu diarahkan hanya kepada Allah ataukah tidak sama sekali. Dari sanalah, ia akan mendapatkan seluruh daya yang dipancarkan dari cahaya Allah.

Dari segi peristiwa sejarah yang pernah terjadi di pertengahan bulan Sya’ban adalah pemindahan arah kiblat dari Masjid Aqsha ke Masjid Haram. Hal ini bermakna bahwa pandangan-pandangan kesucian diarahkan pada makna Masjid Haram yang merujuk kepada pencegahan diri dari perbuatan keji dan munkar. Karena makna haram juga berarti hurmah (kehormatan). Mencapai kehormatan adalah berarti mencapai kesucian. Cara yang ditempuh untuk mencapai kehormatan adalah dengan mengharamkan diri dari perbuatan keji dan munkar. Cara tersebut juga menjadi definisi mendasar dari shalat. Masjid Haram dalam makna ini adalah shalat itu sendiri. Secara literatur berarti “tempat sujud yang diharamkan”.

“Telaahlah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar. Dan Sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (al’Ankabuut : 45).

Peristiwa pemindahan arah kiblat menunjukkan standarisasi upaya dasar manusia untuk mencapai kesuciannya. Sebab, Masjid Aqsha merupakan kesucian kedua setelah Masjid Haram. Masjid Aqsha merupakan kesucian lanjutan setelah kesucian awal sudah dicapai. Dalam peristiwa Isra Mi’raj, Start awal kesucian berada pada Masjid Haram, lalu ia berjalan menuju Masjid Aqsha yang bermakna “tempat sujud yang lebih agung”. Aqsha adalah bentuk superlatif (ism tafdhiil) dari qushwa yang artinya agung, besar, luas.

Demikianlah makna Sya’ban sebagai bulan yang berada di antara Rajab dan Ramadhan. Rajab bermakna keagungan, Sya’ban bermakna pancaran, Ramadhan bermakna Terang benderang. Menjadi sebuah proses yang sangat sistematis bagi manusia untuk mencapai insan kamil. Agung – Memancar – Menerangi.

Allahu a’lamu bishawaabih.

(al-Faqiir Ahmad Baihaqi)

Munajat Sya`ban

Munajat ini adalah munajat Imam Ali bin Abi Thalib (kwh) di bulan Sya’ban. Dianjurkan untuk dibaca selama di bulan Sya’ban. Munajat inilah yang maknanya menggetarkan hati kaum mukminin:

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Ya Allah sampaikan shalawat kepada Rasulullah dan Keluarganya


Dengarlah doaku, ketika aku berdoa pada-Mu
Dengarlah seruanku, ketika aku menyeru-Mu
Hampiri daku, ketika aku memanggil-Mu


Aku telah berlari menuju-Mu
berhenti di hadapan-Mu
bersimpuh pada-Mu, berserah diri pada-Mu
mengharapkan pahalaku dari hadirat-Mu


Engkau ketahui apa yang ada dalam diriku
Engkau kenali segala keperluanku
Engkau arif akan apa yang tergetar dalam hatiku
Tak tersembunyi bagi-Mu urusan kepulangan dan kembaliku
dan apa yang ingin aku ungkapkan semuanya dari mulutku
dan aku ucapkan dengan keinginanku dan mengharapkannya untuk hari akhirku.


Sudah berlaku ketentuan-Mu padaku duhai Junjunganku
apa yang terjadi padaku sampai akhir umurku
baik yang tersembunyi maupun yang tampak padaku;
di tangan-Mu bukan di tangan selain-Mu
kelebihanku dan kekuranganku, manfaatku dan madaratku.


Tuhanku, jika sekiranya Engkau menahan rezekiku, maka siapa lagi yang akan memberikan rizki padaku. Jika Engkau mengabaikan aku maka siapa lagi yang akan membelaku.

Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari marah-Mu dan terlepasnya murka-Mu
Tuhanku, jika aku tidak layak memperoleh kasih-Mu, Engkau sangat layak untuk memberikan anugrah kepadaku dengan keluasan karunia-Mu


Tuhanku, seakan diriku telah tersungkur di hadapan-Mu
dan sebaik-baiknya kepasrahanku padaMu telah menaungi aku
lalu Engkau berkata apa yang layak Engkau katakan

dan Kau liputi aku dengan ampunan-Mu



Munajat Nishfu Sya’ban
(byHaqq: 25-07-2010 M./14-08-1431 H.)

Ya Allah...
Jalan menujuMu memang lurus.
Namun keras, berat dan menyakitkan

Ya Allah...
Lindungilah mataku dari permainan yang memusingkan,
penampakan yang menjerumuskan, sikap yang tiada arah

Ya Allah...
Jadikanlah ketololanku sebagai proses
untuk menggapai daya cerdasMu

Ya Allah...
Aku bingung, pusing dan lelah
Dimana cintaMu yang berlaku sebagai penuntun?
Dimana kasihMu yang berlaku sebagai arah?
Dimana sayangMu yang berlaku sebagai pembimbing?
Aku hilang daya hidupMu...
Aku hilang sistem kerajaanMu...
Aku tersungkur dengan ketololanku...

Ya Allah...
Aku mohon ampun
atas tertutupnya pandangan akan dosa.
Aku mohon ampun
atas pandangan yang menapikan RasulMu.
Aku mohon ampun
atas hilangnya tuntunan dari rasa terdalam pada diriku.
Aku mohon ampun
atas peratapan yang tiada tuntunan.
Aku mohon ampun
atas segala sesuatu yang tiada penisbatanMu.

Ya Allah...
Berikanlah tongkat penuntun
Terangilah jalanku dengan makna

Ya Allah...
Telah gugur hijab pengakuan.
Telah menetes air mata kebingungan.
Telah tersungkur getaran kepalsuan.

Kini, di pagi ini, di tengah hiruk pikuk AsmaMu,
aku lemahkan diriku di hadapanMu.

Rangkaian kerajaan makna dalam kata,
menjadi sutera yang membungkus kefanaan.

Tulisan perjalanan tiada dimohon untuk menjadi hijab.
Mudahkanlah pribadi yang tegak dan bebas dari belenggu.

Ya Allah...
 
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yang baik mencerminkan diri anda. Terima kasih...

 
Beranda | Profil | Kontak | Sambutan
Copyright © 2011-2015. Nururrahman - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger