Haji dan problematikanya
Haji ( حج)
adalah rukun Islam yang kelima setelah syahadat, salat, zakat dan
puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum
muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) datang berkunjung
serta melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Mekkah dan
sekitarnya, pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan dzulhijjah).
Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan
sewaktu-waktu.
Setiap tahun jumlah jemaah haji terus meningkat di seluruh dunia.
Meskipun ibadah haji diwajibkan sekali seumur hidup, pada kenyataannya banyak
sekali orang Islam dari seluruh penjuru dunia yang melaksanakan haji berulang
kali. Walaupun jarak kampung halaman mereka itu ribuan kilometer dari
kota suci Mekkah. Pemerintah Arab Saudi, berdasarkan konsensus dengan
Organisasi OKI (Organisasi Konferensi Islam) membuat consensus, dari tiap-tiap
negara OKI, jumlah jemaah haji bagi mereka dikenakan kuota, yaitu 10 persen
dari jumlah penduduk mereka. Untuk tahun 2011ini ada 2,927,717 orang yang menunaikan ibadah haji
(sumber : Royal Embassy of Saudi Arabia)
Semakin bertambahnya jumlah umat Islam di dunia dan bertambahnya
kemampuan ekonomi serta semakin mudahnya sarana tranportasi, semakin bertambah
pulalah jamaah haji di dunia. Hal ini mengakibatkan tempat penyelenggaraan
manasik haji semakin tidak mampu menampung luapan jamaah, di antaranya tempat
mabit di Mina yang memerlukan adanya perluasan.
Perluasan tak henti-hentinya dilakukan Kerajaan Arab Saudi pada
tempat-tempat suci umat Islam. Keselamatan, kenyamanan dan estetika telah
menjadi perhatian pemerintah Arab Saudi dalam menyambut dan melayani para
jamaah haji sebagai tamu-tamu Allah SWT. Bertolak dari semua itu maka
pemerintah setempat mengadakan perombakan beberapa tempat dilaksanakannya
ibadah haji antara lain perluasan Masjidil Haram di Makkah, pelebaran jalan
raya, pembuatan jalan baru, pembuatan terowongan, pelebaran Jamarat bahkan
membuatnya bertingkat-tingkat bersusun ke atas sampai empat atau lima tingkat,
perluasan tempat sa’i dan membuatnya bersusun tiga atau empat tingkat (mas`a),
dan pembangunan kemah jemaah haji di luar Mina untuk ibadah mabit (bermalam) di
Mina.
Selain perluasan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Pemerintah Saudi
juga akan melakukan perluasan kawasan Mina yang akan dimulai tahun 2012, dengan
harapan, Mina, setelah tiga sampai lima tahun kedepan mampu menampung jamaah
haji lebih banyak lagi. Sejumlah ahli telah direkrut untuk mengkaji
kekurangan layanan bagi tamu Allah. Hasil kajian ini akan dimasukkan dalam
rencana Proyek Raja Abdullah terkait pembangunan Mekkah.
Namun pertanyaan yang kemudian timbul adalah: Apakah perubahan-perubahan itu masih dapat dibenarkan oleh Syara’? Apakah tetap sah haji seseorang yang dilakukan di tempat-tempat perluasan itu?
Perluasan Pemondokkan Mina atau Mina Jadid
(masru’ tawsi’ah al-haramain wal masya’ir muqoddasah)
Tidak ada nash yang tegas dalam menetukan batas-batas Mina. Para
Fuqaha pun, terutama Fuqaha salaf, tidak menentukan batas-batas Mina secara
jelas. Kebanyakan mereka hanya menyebut batas Mina ke arah Mekkah, yaitu pada
ujung Aqobah ke arah Mekkah. Kawasan di belakang Jumroh Aqobah ke arah Mekkah
sudah merupakan kawasan luar Mina.
Mina adalah lembah di padang pasir yang terletak sekitar 5
kilometer dari kota Mekkah, Arab Saudi, dan masih dalam kawasan tanah haram.
Mina digunakan sebagai tempat mabit pada hari tasyrik (tanggal 11, 12, 13
Dzulhuijjah). Namun Mina dikatakan mempunyai batas-batas tertentu, sehingga
kawasan di luar batas Mina tidak dipandang sebagai Mina, sehingga berada di
tempat itu bukanlah mabit. Panjangnya Mina sekitar 2 mil atau sekitar 3 km.
وَاعْلَمْ أنَّ مِنَى طُوْلًا مَا بَيْنَ وَادِي مَحْسَرٍ وَ
أوَّلُ اْلعَقَبَةِ الَّتِيْ يَلْصِقُهَا الْجُمْرَةَ
Yaitu jarak lembah yang ada di lembah Muhassir sampai Jumrah
Aqabah.[1]
Sedangkan lebarnya adalah kawasan di antara dua bukit. Pada saat ini bukit yang mengapit Mina telah diratakan sehingga kawasan yang ada di antara dua bukit menjadi luas. Oleh karena itu untuk memudahkan mengenalinya Pemerintah Arab Saudi pun membuat papan petunjuk bertuliskan “Nihayat Mina” (batas akhir Mina).[2]
Yang terjadi sekarang sesungguhnya bukanlah perluasan Mina (tawsi’atul
mina), sehingga seolah-olah menghasilkan sebutan Mina Jadid (Mina yang
baru), tetapi adalah penempatan perkemahan di luar kawasan Mina yang digunakan
sebagai tempat mabit, dalam rangkaian melaksanakan wajib haji, yaitu melempar
jumrah di Mina (jumrah ’ula, wustha’ dan aqabah).
Perkemahan yang ditempatkan di luar Mina itu, beberapa tahun
terakhir ini, digunakan untuk mabit para jamaah haji dari Indonesia dan dari
Turki. Dengan kata lain, ratusan tenda tersebut berdiri di kawasan luar Mina
dan masuk kawasan Muzdalifah.Mina terletak 5 km sebelah timur Makkah. Letaknya
antara pusat kota Makkah dan Arafah, tempat wukuf jamaah haji.
Mina mendapat julukan Kota Tenda, karena berisi tenda-tenda untuk
jutaan jamaah haji seluruh dunia. Di padang Mina yang seluas 600 hektar, jamaah
akan menginap 3 hari untuk melakukan ritual lempar jumroh. Awalnya, pemerintah
Arab Saudi kesulitan untuk memperluas wilayah Mina itu karena lokasinya yang
berada di celah perbukitan. Padahal, jumlah jamaah haji terus bertambah. Kalau
semua harus tidur di tenda maka tidak akan cukup. Perluasan ke kanan dan kiri
tidak mungkin karena menabrak gunung, sehingga kini perkemahan Mina terus
meluas melewati Muzdalifah.
Masalah yang timbul selanjutnya adalah Jarak Muzdalifah-Mina itu
hanya lima kilometer. sehingga tenda-tenda yang dirikan melewati batas wilayah
mina dan tenda terus didirikan meskipun menyeberang ke wilayah Muzdalifah.
Wilayah perluasan Mina ke Muzadalifah itulah yang oleh orang Indonesia disebut
Mina Jadid. Jamaah haji Indonesia selalu mendapat tempat di wilayah perluasan
tersebut. Namun mereka yang tidak tahu asal-usulnya tidak akan menyadari kalau
ternyata mereka tidur di tanah Muzdalifah, bukan di Mina. Tenda paling belakanglah
yang menjadi batas kedua wilayah tersebut. Dan disitu terdapat papan petunjuk
yang tertulis batas akhir mina (nihayat Mina).
Penggunaan istilah Mina Jadid menyebabkan munculnya
kontroversi. Ada yang mengatakan bermalam di wilayah Mina Jadid itu
tidak sah. Karena sesungguhnya berada di Muzdalifah. Sedangkan di Muzdalifah
ada prosesi tersendiri. Supaya tidak ada yang merasa menginap di Muzdalifah,
Depertamen Agama menggunakan kata Mina Jadid itu yang artinya Mina
baru.
Sebagian jamaah menganggap mabit di Mina Jadid tidak sah
karena mengganggapnya di luar Mina. Tahun 2011 jamaah haji reguler di Mina
menempati 70 maktab, yang sebagian lokasinya jauh dari Jamarat. Perkemahan
jemaah haji Indonesia di Mina, seperti tahun sebelumnya, sebagian besar
berlokasi di Haratul Lisan dan ada juga yang berlokasi di Mina Jadid; karena
itu, di malam hari mereka memasuki Mina, duduk-duduk lesehan, sembari menunggu
pergantian hari untuk melempar jumroh. Yang pemondokannya dekat Mina, lebih
memilih tinggal di pemondokan, malam hari baru memasuki Mina. Atau mendekati
posko haji Indonesia di Mina.
Selain Indonesia, sejumlah jamaah negara di India, Pakistan dan
Bangladesh juga menempati Mina Jadid. Mina Jadid dihuni oleh maktab 1-9.
Tiap maktab berisi 2.900 orang. Jarak yang jauh dari lokasi lempar jumroh
menjadi kendala. Ke Jamarat 7 km. pulang pergi 14 km, kemudian dari Jamarat
bersambung ke Masjidil Haram untuk tawaf ifadhoh dan sa’i kira-kira 5 km, jadi
totalnya kurang lebih 14 km ditambah pulang pergi ke Masjidil Haram 10 km jadi
28 km.[3]
Pemerintah Arab Saudi juga terus memikirkan solusi bagaimana jamaah
haji bisa leluasa bermalam di Mina. Solusi itu antara lain, Saudi akan
membangun dua proyek raksasa di Mina: gedung bertingkat dan tenda bertingkat.
Kedua proyek itu akan dibangun setelah musim haji tahun ini dan diharapkan
mampu mengakomodasi 1,5 juta jamaah haji di masa mendatang. Bila kedua bangunan
itu berdiri, maka Mina diharapkan akan mampu menampung 3 juta jamaah. Lokasi
pembangunan proyek itu adalah lereng pegunungan yang mengelilingi Mina.[4]
Hukum Mabit di Mina
Pada tanggal 8 Zulhijjah semua jamaah haji yang saat
itu berada di Makkah diberangkatkan ke Arafah. Setelah wukuf, mereka balik
menuju Muzadalifah. Di sana harus berhenti paling tidak sampai tengah malam. Setelah
itu baru melanjutkan perjalanan ke Mina dan menginap di sana.[5]
Mabit di Mina pada malam Arafah (hari Tarwiyah malam) disepakati
hukumnya sunnat, tidak wajib. Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat
mengenai hukum mabit di Mina pada hari-hari Tasyriq (tanggal 11,12,dan 13
Dzulhijjah).
Berikut adalah pendapat para ulama madzhab tentang Mabit di Mina
dengan dalil-dalil yang dipergunakan:
1. Menurut Madzhab Hanafiyah (beserta Ulama yang Tidak Mewajibkan
Mabit di Mina)
Mabit merupakan sunnah haji karena Mabit di mina bertujuan
untuk memudahkan para jamaah haji dalam melontar jumroh yang waktunya bersamaan
dengan mabit, yaitu hari-hari Tasyriq. Dan tidak ada dam (denda) bagi yang
meninggalkannya. Tetapi mereka dianggap musi’ (berbuat tidak baik
melanggar peraturan).[6]
Dalilnya:
- Hadits riwayat Ibnu Abbas RA: “ jika engkau hendak melontar jumroh, bermalamlah dimanapun engkau inginkan.”
- Hadits ibnu Umar RA: “Rasulullah SAW melakukan thawaf ifadhah pada hari qurban (nahr), kemudian kembali lagi lalu sholat zuhur di Mina.”
(tidak ada perintah tegas dari Nabi SAW untuk mabit).
- Nabi member idzin (adzdzana) kepada Abbas RA untuk bermalam di Mekkah pada hari-hari Mina karena dia menjadi petugas siqayah[7] (penyedia air minum untuk jamaah haji yang dikerjakan secara turun temurun oleh keluarga Bani Hasyim).
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: استأذن العباس بن عبد المطلب
رضي الله عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أن يبيت بمكة ليالي منى من أجل
سقايته فأذن له
- Hadits dari Ashim Bin Adi: “Rasulullah SAW member izin kepada para penggembala untu untuk tidak bermalam di Mina. Mereka melontar Jumroh aqobah pada hari nahr, kemudian mereka pada dua hari, kemudian melontar pada hari nafar.”
عن عاصم بن عدي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أرخص لرعاء
الإبل في البيتوتة خارجين عن منى يرمون يوم النحر ثم يرمون الغد ومن بعد الغد
ليومين ثم يرمون يوم النفر
Untuk kedua hadits terakhir ini tidak mengindikasikan adanya
kewajiban mabit di Mina. Seandainya wajib tentu tidak diizinkan oleh nabi SAW
dan tentu dikenai denda karena meninggalkan bagian yang wajib.
2. Menurut Mazhab Malikiyyah
Mabit di Mina merupakan bagian dari wajib haji disamping singgah di
Muzdalifah, melontar Jumroh, Tahallul dan membayar Fidyah.
Dalilnya:
- Nabi SAW bermalam di Mina pada hari Tasyriq (khudzu ‘anni manasikakum).
- Nabi member idzin (adzdzana) kepada Abbas RA untuk bermalam di Mekkah pada hari-hari Mina karena dia menjadi petugas siqayah (penyedia air minum untuk jamaah haji yang dikerjakan secara turun temurun oleh keluarga Bani Hasyim). Menurut pandangan Malikiyyah, rukhshah ini khusus diberikan Nabi SAW kepada Abbas RA dan tidak berlaku untuk semua orang. Sesuai qaidah ushul Fiqih :’At-Ta’bir bir-Rukhshah yaqtadhi an maqabalaha ‘azimah’. (ketiadaan rukhsah bagi yang lain akan berlaku sebaliknya, yaitu azimah (keharusan).
- Umar Bin Khattab menganjurkan agar seluruh jamaah haji segera berkumpul di Mina dan bermalam disana.
Konsekuensi bagi yang tidak mabit di Mina adalah membayar dam
(denda).
3. Menurut Mazhab Hanabilah
Wajib mabit pada hari Tasyriq bagi selain siqayah dan
pengembala unta (ri’a’ al-ibil)[8].
Bagi jamaah haji yang sengaja meninggalkan mabit tanpa udzur
tersebut akan dikenai dam. Jenis dam bisa berupa makanan (ukuran satu mud) atau
uang (dirham).[9]
4. Menurut Mazhab Syafi’iyyah
Qaul masyhur: wajib mabit di Mina. Disyaratkan hendaknya sebagian
besar dari malam yang dijalaninya dalam malam hari-hari tasyriq bagi mereka
yang tidak terburu-buru. Adapun bagi mereka yang terburu-buru dan menginginkan
keluar dari Mina menuju Mekkah pada hari kedua Tasyriq, maka kewajiban pada
hari berikutnya melontar jumroh pada hari itu gugur. Namun bagi mereka yang
mempunyai udzur seperti siqayah, ri’a’ al-ibil, dan orang yang menghawatirkan
dirinya dan hartanya terancam disebabkan mabit di Mina[10], diberikan rukhshah untuk
tidak mabit dan tidak tinggal di Mina. Namun tetap harus melontar jumroh.
Dalilnya:
QS. Al-Baqarah: 103; “ Barangsiapa ingin cepat berangkat (ke
Mina) sesudah dua hari maka tidak ada dosa baginya.”
Kadar mabit:
- Mu’zham al-lail (mabit semalam penuh)
- Hadir beberapa waktu pada saat terbitnya fajar
Konsekuensinya adalah: bagi jamaah yang meninggalkan mabit selama
tiga hari berturut-turut dikenakan satu dam.sedangkan jika meninggalkan satu
hari saja, maka dia harus membayar satu mud makanan; atau dirham; atau
sepertiga dam tiap malamnya.
Pendapat diatas menggambarkan terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama madzhab dalam menentukan apakah jamaah haji diperbolehkan
mabit diluar Mina atau tidak. Mayoritas ulama madzhab menyatakan
kewajiban mabit di Mina pada malam hari-hari Tasyriq. Melihat dari kondisi yang
saat ini terjadi karena tidak tertampungnya seluruh jamaah saat mabit di Mina.[11]
Yang terjadi sekarang sesungguhnya bukanlah perluasan Mina (tawsi’atul
mina), sehingga seolah-olah menghasilkan sebutan Mina Jadid (Mina yang
baru), tetapi adalah penempatan perkemahan di luar kawasan Mina yang digunakan
sebagai tempat mabit, dalam rangkaian melaksanakan wajib haji, yaitu melempar
jumrah di Mina (jumrah ’ula, wustha’ dan aqabah).
Perkemahan yang ditempatkan di luar Mina itu, beberapa tahun
terakhir ini, digunakan untuk mabit para jamaah haji dari Indonesia dan dari
Turki. Dengan kata lain, ratusan tenda tersebut berdiri di kawasan luar Mina
dan masuk kawasan Muzdalifah.
Pertanyaan yang muncul adalah sahkah mabit di luar kawasan Mina tersebut?
Ulama yang membolehkan (mensahkan mabit di luar Mina)
Dengan mensyaratkan perkemahan tersebut bersambung (ittishal
al-mukhayyamat) dengan perkemahan yang ada di Mina. Hal ini
dikiaskan/diilhaqkan dengan sahnya sholat jum’at yang harus berada di Masjid.
Jika masjid telah penuh, maka bisa melebar keluar asalkan safnya bersambung (ittishal
al-shufuf). Dan karena jamaah bersambung dengan jamaah masjid dan
mengetahui gerakan imam, maka shalatnya dianggap sah, tidak perlu melakukan
shalat zuhur sebagai pengganti sholat tersebut.[12]
Dalil-dalil atas ke-sah-annya adalah:
- Qoidah ad-dharar yuzalu
الضرر يزال
“sesuatu yang menimbulkan bahaya harus dihilangkan.”
- Qoidah Al-Masyaqqoh Tajlibut Taysir
المشقة تجلب التيسير
“kesulitan mendatangkan kemudahan.”
- Qoidah Al-Amru idza dhooqo ittasa’a
الأمر إذا ضاق اتسع
“jika suatu keadaan menyempit dan menyulitkan maka dimungkinkan
diperluas atau dipermudah.”
Kaidah-kaidah tersebut bertujuan agar ketentuan-ketentuan syariah
dapat dapat dilaksanankan oleh mukallaf kapan dan dimana saja dengan memberikan
kelonggaran dan dispensasi apabila mukallaf itu mengalami kesulitan dalam
melaksanakannya. Kaidah-kaidah ini merupakan penjelasan dari ketidaknyamanan
yang disebutkan dalam berbagai aspek yang ada di Mina pada paragraph-paragraf
sebelumnya. Juga perluasan perkemahan Mina ini merupakan alternative yang saat
ini bisa ditempuh sebelum terselesaikannya perkemahan Mina yang bertingkat dan
permanen.
- Qoidah hukmul hakim ilzaamun yarfa’ul khilaaf.
حكم الحاكم إلزام يرفع الخلاف
“Putusan penguasa mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat”
- Q.S. An-Nisa:59
يأيها الذين ءمنوا أطيع الله وأطيع الرسول وأولي الأمر منكم
“hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu.”
Sebagai pelayan dan penanggung jawab pelaksanaan haji, Pemerintah
Arab Saudi telah menetapkan perluasan area mabit sampai ke Muzdalifah.
Keputusan tersebut tentunya dengan mepertimbangkan kemaslahatan jamaah haji dan
setelah mendapat pertimbangan para ahli termasuk Mufti kerajaan dan para ulama
yang tergabung dalam Hay’at Kibar al-ulama (Majelis Ulama Besar).
Persoalan ini dianggap sudah jelas. Bahwa jamaah haji yang tinggal
di luar Mina diharuskan beranjak menuju Mina dan mabit di sana selama mu’jam
al-lail (separuh malam lebih) dari malam hari tasyrik. Sementara jamaah
haji yang tidak bisa mabit di Mina diharuskan membayar dam (denda) karena
meninggalkan manasik haji.
- Q.S. Al-Baqarah: 185
يريد الله بكم اليسر ولا يريدبكم العسر
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.”
- Q.S. Al-A’raf: 157
الذين يتبعون الرسول النبي الأمي الذي يجدونه مكتوبا عندهم في
الإنجيل يأمرهم باامعروف وينهاهم عن المنكر ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم
الخبائث ويضع عنهم إصرهم والأغلال التي كانت عليهم فالذين ءامنوا به وعزروه
ونصره واتبعوا النور الذي أنزل معه أولئك هم المفلحون
“(yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi
(namanya) mereka dapati tertulis did alam Taurat dan Injil yang ada di sisi
mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk dan mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.
Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an),
mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Ayat ini merupakan gambaran tentang kondisi sempit dan sulit yang
disingkirkan oleh syariat Islam dengan kelonggaran dan kemudahan.
- Hadits tentang sahabat Abbas RA yang menjadi Siqayah
- Hadits tentang ri’a’ al-ibil
- Hadits tentang orang yang menjaga harta bendanya
Kebolehan tidak bermabit di Mina pada tiga ‘golongan’ di atas
dipersamakan oleh banyak ulama dengan mereka yang memiliki urusan yang dikhawatirkan
luput atau tertanggu. Atau orang sakit yang membutuhkan perawatan, atau orang
yang mengalami kondisi darurat atau beban kesulitan yang jelas. Dalam hal rukhshah
untuk tidak mabit di Mina, orang yang kondisinya sama dengan mereka, bahkan
lebih, adalah orang yang tidak mendapatkan tempat yang pantas untuk mabit.
Begitu juga dengan orang yang keluar untuk thawaf di Baitullah, lalu ia
tertahan oleh konsentrasi massa sehingga tertinggal bermalam di Mina. Mabit di
luar Mina itu disebabkan oleh faktor eksternal, bukan merupakan perbuatan atau
keinginannya sendiri, dan ia tidak sanggup menghilangkan factor tersebut. Dan
mereka yang mabit di luar Mina karena factor-faktor tersebut bisa dikategorikan
sebagai orang yang uzur sehingga tidak diwajibkan membayar dam atas itu.[13]
Jika tetap dipaksakan untuk bermabit di Mina sesuai dengan batasan
yang telah disebutkan tadi maka hal ini dapat membahayakan jamaah. Dan ini
tentu saja membahayakan jamaah malah bertentangan dengan prinsip hukum Islam laa
dharaar wa laa dhiraar (tidak ada perbuatan memudharatkan dan
membalas perbuatan memudharatkan). Dan Firman Allah Q.S. Al-Maidah: 6 “Allah
tidak ingin memberikan kesulitan kepadamu.”
Dan konsekuensi logis dari mabit di luar Mina yaitu para jamaah
haji tersebut mengambil nafar awal dikarenakan lokasi pemondokan
yang sangat jauh dari Jamarot (tempat pelontaran). Jamaah yang berada di Mina
Jadid harus berjalan kaki sejauh 7 kilometer. Dengan demikian, sekitar 70
persen jamaah haji Indonesia melakukan nafar awal dan sisanya mengambil nafar
tsani.
Sebagian ulama yang melarang diadakannya mabit di luar Mina adalah
karena menurutnya tempat-tempat haji dan waktunya telah ditetapkan oleh
syariat, di sana tidak (ada) tempat untuk melakukan ijtihad. Rasulullah SAW
saat melakukan haji bersabda, ‘Hendaklah kalian mengambil manasik (haji)
kalian dariku, boleh jadi aku tidak bertemu dengan kalian setelah tahun ini’
oleh karena itu Beliau Nabi SAW telah men jelaskan waktu-waktu dan
tempat-tempat (pelaksanaan ibadah haji).
Batasan Mina adalah dari Wadi Muhassir hingga Jumrah Aqabah. Maka
siapa yang menunaikan ibadah haji, hendaknya dia mencari tempat di dalam batas
wilayah Mina, jika tidak mampu, maka dia boleh berdiam di tempat terdekat
sesudahnya, dan tidak mengapa baginya.
Namun sebagian besar ulama menyebut sah untuk menjadi lokasi mabit,
karena ada kondisi darurat, dan Ulama Arab Saudi menganggap sah. Mereka menyebut
ini perluasan Mina, kemah di Mina bersambung ke Mina Jadid.
Dengan pertimbangan di atas, maka diperbolehkan mabit di Mina Baru
sebagaimana diperbolehkan mabit di Mina yang lama. Ini karena kota Mina Baru
masih mengikut kepada Mina yang lama. Di dalam kaidah fiqih disebutkan,
ungkapan ini berarti Sesuatu yang mengikut statusnya sama dengan yang diikuti
(al ashlu baqa’u ma kana ala maa kana). Permasalahan ini juga berlaku pada
pemugaran Masjidil Haram di Makkah, dan Masjid Nabawi di Madinah Oleh karena itu,
tidak ada seorang ulama pun yang menyangkal bahwa pelaksanaan shalat di
bangunan yang baru dari kedua masjid tersebut akan mendapatkan pahala,
sebagaimana di lokasi yang lama pada masa Nabi Muhammad Saw. Sikap tersebut
menunjukkan kesepakatan mereka mengenai kebolehan shalat di bangunan masjid
yang baru dan perolehan pahala yang sama.
Perluasan areal mabit di Mina ilhaq dengan tawsi’ah shufufi
al-shalat untuk shalat Jum’ah sepanjang terjadi persambungan antara
perkemahan jamaah haji. Praktek istidlal tersebut bermuara pada ilhaq
atau pengembangan hukum secara qiyas (analogi).
Jika pemerintah Saudi tetap terpaksa akan menempatkan sebagian
jamaah haji untuk mabit di kemah kawasan perluasan kawasan Mina di Muzdalifah
maka kita harus mengantisipasi kebijaksanaan Pemerintah Arab Saudi tersebut.
Mabit di perluasan kemah di kawasan luar Mina hukumnya sah seperti
di Mina, sebagaimana ijtihad dan pendapat para ulama Saudi dan lainnya
dikarenakan darurat. Hanya pelaksanaan melontarnya saja yang diatur. Tetapi
apabila nanti pemerintah Saudi Arabia telah rampung membangun gedung-gedung
tinggi di Mina sehingga mampu menampung seluruh jamaah haji, maka seluruh
jamaah haji yang mabit di luar Mina tersebut harus kembali mabit di Mina.
«منى الجديدة»…
كانت «مزدلفة».. وأصبحت «منى»!
الإثنين, 07 نوفمبر 2011
منى – عبدالواحد الأنصاري
«منى الجديدة» … عبارة أصبحت تجري على ألسن الحجاج والمطوفين
ومشرفي الحملات، بيد أن أي متابع للجدل الفقهي الذي دار قبل أعوام يدرك أن هذه
المنطقة كانت جزءاً من مزدلفة، يطلق عليها «نهاية مزدلفة». وأفتى العلماء في
العقود الماضية بأن المبيت في «منى الأصلية» واجب وجوباً لا مناص منه، وفي حال
تخلّف الحاجّ عنه فإنه يلزمه دم، لأنه أخلّ بواجب من الواجبات.
ومع امتداد المخيمات في منى، في المنطقة التي تقع ما بين نهاية
مزدلفة وجسر الملك فيصل، أصبح المتعارف إطلاقه على هذا الموضع «منى الجديدة».
لكن اللافت لمتابعين وعدد من الحجاج، وما يثير أسئلة متشابكة،
أنه على رغم اعتبار هذه المنطقة جزءاً من منى «اضطراراً»، وبناء على فتاوى علماء
اعتبروها كذلك لواقع اتصال الخيام والتصاقها ببعضها بعضا»، فإن الحجاج الذين
يقيمون في «منى الجديدة» حين عادوا من عرفة، اتجهوا إلى مخيماتهم التي هي مزدلفة
في الأصل، وباتوا الليل فيها. ثم باتوا فيها أيضاً -يوم أمس- على أنها أصبحت منى
عُرفاً.
ووفقاً لفتوى أصدرها الشيخ ابن عثيمين في الأعوام الماضية
تقتضي جواز ذلك مع اشتداد الزحام وتواصل الخيام، فإن بعض العلماء لا يقرّون بأن
هذه المنطقة يصح تسميتها وإطلاق «منى الجديدة» عليها، وإن جاز لمن لا يستطيع
المبيت في منى أن يبيت في أي مكان آخر، وهذا ما يرويه بعض تلاميذ الشيخ عبدالعزيز
بن باز رحمه الله أنه أفتى به عام 1417، ويقول به بعض العلماء الموجودين، ومن بينهم
عضو هيئة كبار العلماء الدكتور عبدالكريم الخضير.
وفي سؤال وجه إليه سابقاً: «ما حكم المبيت بما يسمى منى
الجديدة أو توسعة منى، مع العلم أننا لم نتأكد هل في منى زحام أم لا؟ أجاب
مستنكراً: «كيف منى الجديدة؟ وكيف تكون لمنى توسعة؟ هل هي تقبل التوسعة؟ مشعر معروف
الحدود والأطوال من جميع الجهات، فلا تقبل التوسعة، «يعني لو ضحكوا» على من يقتدي
بهم وقالوا: «هذا من منى الجديدة، فما معنى منى الجديدة؟ هذا مكان لا يقبل
التوسعة»، مشيراً إلى أنه في حال الاضطرار إلى المبيت خارج هذا المشعر فلا فرق بين
المبيت خارجها سواء أكان جهة مزدلفة أم أي جهة أخرى، موضحاً ذلك بقوله: «من بات
خارج حدود منى فهو خارج منى، سواء كان في مزدلفة أو في مكة أو يمينها أو شمالها،
ومنى معروفة الحدود والأطوال، ولا شك أنه إذا فرط ولم يبحث عن مكان أنه آثم من جهة
ويلزمه ما يلزم تارك الواجب». ويقتضي مفهوم فتوى أخرى للخضير «أن المبيت تحت
الجسور وعلى الأرصفة في حال الأمن من الخطر أحوط من المبيت في «منى الجديدة»، ولا
يرى فرقاً مع تعذر المبيت في «منى القديمة» منه بجوارها، أو بعيداً عنها في مكة، وأردف:
«المبيت بمنى واجب من واجبات الحج، لا يجوز للحاج تركه إلا لعذر فإن تركه من غير
عذر لزمه دم عند كثير من أهل العلم، هذا مع تيسر المكان في منى، أما إذا بحث عن
مكان في منى ولم يجد فهو معذور، فيبيت حينئذ في أقرب مكان من منى قرب الحجاج،
ليتحقق بذلك بعض المنافع المترتبة على هذه المناسك، وإن بات بعيداً عنهم في مكة
فلا أرى ما يمنع من ذلك، وإن تحمل الحاج فبات في الطرقات أو الأرصفة مع أمن الخطر
عليه فهو أحوط، وأبرأ للذمة». يذكر أن حدود «منى الجديدة» تقع ما بين جسر الملك
فيصل شرقاً، وبداية منى القديمة غرباً.
حدود منى
حسن الجواهري
حدود مِنى : بكسر الميم و التنوين ، سُمّيت بذلك لما
يُمنى فيها من الدماء.
و قيل: إنّها سُميت لما يُمنى فيها من الدعاء.
و قيل: إنّها سُميت لما يُمنى فيها من الدعاء.
و قيل: لِما رُويَ عن ابن عبّاس: آ«أنّ جبرئيل(عليه
السلام) لمّا أراد أن يُفارق آدم(عليه السلام) قال له: تَمَنَّ. قال:
أتَمنَّى الجنَّة، فُسُمِّيت بذلك لأمنيتهآ»50.
و قيل: آ«سمّيت منى لأنّ جبرئيل أتى إبراهيم(عليه
السلام) فقال له تمنَّ على ربِّك ما شئتآ». فسُمِّيَت منى، واصطلح عليها
الناس، و في الحديث آ«أنّ إبراهيم تمنّى هناك أن يجعل الله مكان ابنه كبشاً
يأمره بذبحه فديةً لهآ»51. فأعطاه الله مُناه.
و قد اتّفقت الروايات على أنّ حدّ مِنى من جهة الطول من
العقبة إلى وادي محسِّر على صيغة اسم الفاعل، فقد ذكر صحيح معاوية لأبي بصير عن
الإمام الصادق(عليه السلام) أنّه قال: آ«حدّ منى من العقبة إلى وادي
محسِّرآ»52. و جمرة العقبة هي حدّ منى من جهة مكّة، و وادي
محسِّر حدّها من جهة مزدلفة، و هذا الحدّ قد ذكره المؤرّخون
و الجغرافيّون أيضاً. فقد قال الأزرقي في أخبار مكّة بسنده عن ابن جريج:
آ«قال: قُلت لعطاء بن أبي رباح، أين مِنى؟ قال: من العقبة إلى محسِّر، قال عطاء:
فلا أحبّ أن ينزل أحد إلاّ فيما بيين العقبة و محسِّر. . .آ»53.
أقول: هذا الذي تقدّم هو حدّ لمِنى من ناحية الطول، أمّا حدّها
من ناحية العرض، فهو ما بين الجبَلَين الكبيرَين بامتدادهما من العقبة حتّى وادي
محسِّر، و قد ذكر الفاسي في شفاء الغرام: آ«أنّ ما أقبل على مِنى من الجبال
المحيطة بها من كِلا جانبَيها فهو منها و ما أدبر من الجبال فليس منهاآ»54. و قد
قال النووي في المجموع : آ«واعلم أنّ منى شِعبٌ ممدودٌ بين جبَلَين أحدهما ثبير
و الآخر الصابح. قال الأصحاب: ما أقبل على مِنى من الجبال فهو منها و ما
أدبر فليس منهاآ»55.
أقول: كأنّ مِنى لا تحتاج إلى أن تحدّد من ناحية العرض لوجود
هذَين الجبلَين الكبيرين المفروض أنّهما حدُّ للمنطقة، فكأنّ السؤال في الروايات
عن حد خاص من ناحية مكّة و مزدلفة فذكرته الروايات.
العقبة هل هي من مِنى؟
العقبة هل هي من مِنى؟
الجواب: بقرينة اتّفاقهم على أنّ (محسِّراً) ليس من مِنى،
و إنّما هو حدّ لها فكذلك العقبة، لاقترانها هي اْلأُخرى بأداة التحديد
و هي (من)، و لكن حكى عن بعض الفقهاء: أنّ العقبة من مِنى وليست حدّاً
لها.
و سُمّيت بالعقبة لأنّها مدخل مِنى من الغرب، و سُمّيت الجمرة هنا بجمرة العقبة.
و سُمّيت بالعقبة لأنّها مدخل مِنى من الغرب، و سُمّيت الجمرة هنا بجمرة العقبة.
مشكلة الذبح : و على ما تقدّم من حدود مِنى، تواجهنا
مشكلة حاليّة بناءً على ما اتّفقت عليه الإماميّة من وجوب الذبح في مِنى، حيث إنّ
المذبح الذي أوجدته الحكومة السعوديّة يكون خارج مِنى حسب العلامات التي نصبت
هناك، وتمنع الحكومة الذبح في غير هذه الأماكن التي أعدّتها للذبح حتّى في الأيّام
اْلأُخرى بعد يوم النحر و أيّام التشريق، فهل من مخرج لهذه المشكلة العويصة؟
و تشتدّ هذه المشكلة على الناس فيما إذا علمنا أنّ الذبح
خارج مِنى لا يجزي، إذ ليس المورد من موارد التقيّة، فإنّ مورد التقيّة فيما إذا
كان المكلّف غير معروف المذهب، فلا يعمل بما هو الحقّ عنده خوفاً من الظالم ،
و الواقع القائم الآن بخلافه تماماً، لأنّ المكلّف معروف المذهب،
و معلوم أنّه لا يعتقد صحّة الذبح خارج مِنى، و أنّه يريد الذبح في
مِنى، إلاّ أنّ المنع الحكومي الناشئ من أنّ من يخالف و يشقّ عصا طاعة وليّ الأمر
لا يجوز إقراره على مخالفته من أيِّ مذهب كان.
و على هذا يكون المورد إذا كان هناك إجبار على الذبح في
المسلخ على المكلّف، من باب ارتكاب أخفّ المحظورَين و أقلّ
الضررَين (يُريدُ الله بِكُمُ اليُسْرَ وَلا يُريدُ بِكُمُ
العُسْرَ )، (وَما جَعَلَ عَلَيْكُمْ في الدِّينِ مِنْ حَرَج )،
فهو من باب قوله(عليه السلام): آ«لإِن أفطر يوماً ثمّ أقضيه أحبّ إليَّ من أن تضرب
عنقيآ»، و أمّا إذا لم يكن إجبارٌ على الذبح و ذَبَحَ خارج مِنى فهو لا يجزيء
أيضاً. و على هذا فيجب القضاء على المكلّف لهذا النسك إذا تمكّن بعد ذلك في بقيّه
أيّام ذي الحجّة، أو أن يخلف ثمنه عند عدل ليشتري له هدْياً و يذبحه في شهر ذي
الحجّة.
فهل توجد طريقة للتخلّص من هذه الطريقة و تقول بالاكتفاء
بالذبح في المذبح الحالي الذي هو خارج مِنى؟
الجواب: توجد عندنا روايات معتبرة تقول: إذا ازدحمت مِنى بالناس ارتفعت إلى وادي محسِّر، فيكون وادي محسِّر حكمه حكم منى، و حينئذ يكون الذبح في المذبح الحالي مجزياً، ففي معتبرة سماعة قال: آ«قلت للصادق(عليه السلام): إذا كثر الناس بمِنى و ضاقت عليهم كيف يصنعون ؟ فقال: يرتفعون إلى وادي محسِّر . . .آ»56.
الجواب: توجد عندنا روايات معتبرة تقول: إذا ازدحمت مِنى بالناس ارتفعت إلى وادي محسِّر، فيكون وادي محسِّر حكمه حكم منى، و حينئذ يكون الذبح في المذبح الحالي مجزياً، ففي معتبرة سماعة قال: آ«قلت للصادق(عليه السلام): إذا كثر الناس بمِنى و ضاقت عليهم كيف يصنعون ؟ فقال: يرتفعون إلى وادي محسِّر . . .آ»56.
فهل يمكن الاكتفاء بهذه الرواية للذبح خارج الحدّ و الوقوف
كذلك؟!
إذا كان الجواب بالإيجاب فتنحّل مشكلة مهمّة.
إذا كان الجواب بالإيجاب فتنحّل مشكلة مهمّة.
Saran dan rekomendasi
Seluruh pemaparan ini disarikan dari dua buah buku yang secara
komprehensif telah membedah persoalan tersebut di atas. yaitu: (1) buku Hasil
Mudzakarah Mabit diluar Kawasan Mina Tahun 2001M, dan (2) buku Perluasan Mas’a,
Jamaraat dan Mabit di Luar Mina Tahun 2008, yang keduanya adalah produk
Kementerian/Departemen Agama. Mengingat cukup bermanfaat dua naskah tulisan
yang berhasil kami temukan dari saudi arabia berkenaan dengan hal ini, maka dua
naskah tersebut juga kami lampirkan.
Kami harapkan agar DEPAG RI selaku pengurus dan wakil dari jamaah
haji Indonesia mensosialisasikan peluasan perkemahan diluar Mina dengan
menerangkan ketiadaan Mina Jadid disertai dengan dalil hukumnya kepada
masyarakat luas. Dan Pemerintah RI dalam hal ini DEPAG dapat menyampaikan dan
memusyawarahkan secara berkelanjutan tentang kebutuhan fasilitas dan system
perbaikan dan pelayanan ibadah haji dan umroh kepada Pemerintah Saudi Arabia.
Wallahu A’lam Bisshawab
Referensi:
1.
Ditjen Bimas Islam
dan Urusan Haji - Direktorat Pembinaan Urusan Haji
2.
Hasil Mudzakarah
Mabit Di Luar kawasan Mina Tahun 1421 H/2001 M
3.
Badan Litbang dan
Diklat Depag RI
4.
Perluasan Mas’a,
Jamarat dan Mabit di Luar Mina, tahun 2008
End Note :
__________________
[1] Lihat I’anatut
thalibin II/304
[2] Dalam kitab Tarikh
Makkah jilid II (Al-Azraqi) disebutkan batas-batas Mina adalah dari Jumroh
Aqobah sebelah barat yang diapit kedua gunung sampai ke Wadi Muhassir sebelah
timur.
Diceritakan oleh Abdul Walid, katanya kakekku Ahmad bin Muhammad
bercerita kepadaku, bahwa Muslim bin Khalid Az-Zinji menceritakan kepadaku,
dari Ibnu Juraij ia berkata, saya bilang kepada Atha’: dimana Mina? Dia
berkata: dari Aqobah sampai ke Muhassir. Menurut Al-Faqihi: dari Aqobah yang
ada jumrohnya sampai wadi Muhassir. Al-Fasi menyebutkan : disekitar gunung-gunung
yang mengelilinginya. Siapa yang berhadap-hadapan dengan Mina ia termasuk
bagian dari Mina, dan siapa yang membelakanginya ia tidak termasuk bagian dari
Mina.
[3] Tahun 2011
Indonesia mendapatkan kuota 211 ribu (reguler dan plus) ditambah tambahan kuota
10 ribu (7.000 reguler, 3.000 plus). Hanya saja, meski ada tambahan 10 ribu,
fasillitas kemah di Arafah, Mina, atau fasilitas umum misalnya MCK dan dapur,
tidak ditambah, karena Tahun 2011 Indonesia mendapatkan kuota 211 ribu (reguler
dan plus) ditambah tambahan kuota 10 ribu (7.000 reguler, 3.000 plus). Hanya
saja, meski ada tambahan 10 ribu, fasillitas kemah di Arafah, Mina, atau
fasilitas umum misalnya MCK dan dapur, tidak ditambah, karena
[4] Infrastruktur
pendukung juga akan dibangun termasuk jalan-jalan, pedestrian, dan stasiun
kereta baru. Dewan Ulama Senior akan diberi penjelasan detail tentang desain
rencana itu. Selain jajaran tenda moderen, saat ini di Mina juga terdapat 6
gedung bertingkat kembar. Menurut ahli ekonomi, keenam gedung itu telah mampu
menghasilkan laba bersih 100 juta riyal, yang menunjukkan bahwa proyek yang
akan dibangun itu bisa menguntungkan.
Gubernur Mekkah Osama Al-Bar menyatakan bahwa proyek baru yang
diluncurkan oleh Raja Abdullah akan meningkatkan Bisnis di Mekkah dan akan
menarik investasi baru di tanah suci seharga SR 100 milyar.( “Every SR1
billion spent by the government would encourage the private sector to invest an
additional SR5 billion. This way public investment would have a multiple effect
on the economy”)
[5] Bagian Tata cara
berhaji yang terjadi sebelum dan ada didaerah Mina adalah:
- 9 Zulhijah, pagi harinya semua jamaah haji pergi ke Arafah. Kemudian jamaah melaksanakan ibadah Wukuf, yaitu berdiam diri dan berdoa di padang luas ini hingga Maghrib datang. Ketika malam datang, jamaah segera menuju dan bermalam Muzdalifah.
- 10 Zulhijah, setelah pagi di Muzdalifah, jamaah segera menuju Mina untuk melaksanakan ibadah Jumrah Aqabah, yaitu melempar batu sebanyak tujuh kali ke tugu pertama sebagai simbolisasi mengusir setan. Setelah mencukur rambut atau sebagian rambut, jamaah bisa Tawaf Haji (menyelesaikan Haji), atau bermalam di Mina dan melaksanakan jumrah sambungan (Ula dan Wustha).
- 11 Zulhijah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.
- 12 Zulhijah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga
[6]Lihat kitab Bada’I
al-Shana’i
[7]Tugas Siqayah
dapat dianalogikan dengan tugas kerajaan Saudi dalam memberikan pelayanan,
kenyamanan, dan fasilitas ibadah haji saat ini.
[8] Ri’a’ al-ibil
atau penggembala unta dapat dianalogikan saat ini dengan para supir
transportasi kebutuhan para jamaah haji saat ini.
[9]Menurut sebagian ulama
Hanabilah, sepertiga dam tiap pelanggaran satu hari. Jika mabit tiga hari
berarti dendanya satu dam (1/3 x 3 hari).
[10] Orang-orang yang
udzur karena factor-faktor tertentu seperti khawatir jika jiwanya terancam,
hartanya hilang karena mabit, petugas kesehatan, orang yang mengalami gangguan
penyakit sehingga sulit mabit, orang yang tersesat, dll. Apakah kategori
seperti ini juga merupakan golongan orang yang mendapatkan rukhshoh
untuk tidak mabit di Mina?
[11] Dalam kitab Tarikh
Makkah jilid II (Al-Azraqi)disebutkan batas-batas Mina adalah dari Jumroh
Aqobah sebelah barat yang diapit kedua gunung sampai ke Wadi Muhassir sebelah
timur.
Diceritakan oleh Abdul Walid, katanya kakekku Ahmad bin Muhammad
bercerita kepadaku, bahwa Muslim bin Khalid Az-Zinji menceritakan kepadaku, dari
Ibnu Juraij ia berkata, saya bilang kepada Atha’: dimana Mina? Dia berkata:
dari Aqobah sampai ke Muhassir. Menurut Al-Faqihi: dari Aqobah yang ada
jumrohnya sampai wadi Muhassir. Al-Fasi menyebutkan : disekitar gunung-gunung
yang mengelilinginya. Siapa yang berhadap-hadapan dengan Mina ia termasuk
bagian dari Mina, dan siapa yang membelakanginya ia tidak termasuk bagian dari
Mina.
[12] Lihat kitab “Minah
al-Jalil Syarh Mukhtashor al-Khalil 2/454
[13] Lihat An-Nawawy
dalam Al-Majmu’ jilid 8 hal 274.
Ditulis oleh : KH. Saifuddin Amsir
Source : Yayasan Shibghatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang baik mencerminkan diri anda. Terima kasih...