Home » , , » Perluasan Mina dan Implikasi Syari'atnya

Perluasan Mina dan Implikasi Syari'atnya

Written By Unknown on Minggu, 21 Juli 2013 | 09.53

Haji dan problematikanya

Haji ( حج) adalah rukun Islam yang kelima setelah syahadat, salat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) datang berkunjung serta melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Mekkah dan sekitarnya, pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.

Setiap tahun jumlah jemaah haji terus meningkat di seluruh dunia. Meskipun ibadah haji diwajibkan sekali seumur hidup, pada kenyataannya banyak sekali orang Islam dari seluruh penjuru dunia yang melaksanakan haji berulang kali. Walaupun  jarak kampung halaman mereka itu ribuan kilometer dari kota suci Mekkah. Pemerintah Arab Saudi, berdasarkan konsensus dengan Organisasi OKI (Organisasi Konferensi Islam) membuat consensus, dari tiap-tiap negara OKI, jumlah jemaah haji bagi mereka dikenakan kuota, yaitu 10 persen dari jumlah penduduk mereka. Untuk tahun 2011ini ada  2,927,717 orang yang menunaikan ibadah haji  (sumber : Royal Embassy of Saudi Arabia)

Semakin bertambahnya jumlah umat Islam di dunia dan bertambahnya kemampuan ekonomi serta semakin mudahnya sarana tranportasi, semakin bertambah pulalah jamaah haji di dunia. Hal ini mengakibatkan tempat penyelenggaraan manasik haji semakin tidak mampu menampung luapan jamaah, di antaranya tempat mabit di Mina yang memerlukan adanya perluasan.

Perluasan tak henti-hentinya dilakukan Kerajaan Arab Saudi pada tempat-tempat suci umat Islam. Keselamatan, kenyamanan dan estetika telah menjadi perhatian pemerintah Arab Saudi dalam menyambut dan melayani para jamaah haji sebagai tamu-tamu Allah SWT. Bertolak dari semua itu maka pemerintah setempat mengadakan perombakan beberapa tempat dilaksanakannya ibadah haji antara lain perluasan Masjidil Haram di Makkah, pelebaran jalan raya, pembuatan jalan baru, pembuatan terowongan, pelebaran Jamarat bahkan membuatnya bertingkat-tingkat bersusun ke atas sampai empat atau lima tingkat, perluasan tempat sa’i dan membuatnya bersusun tiga atau empat tingkat (mas`a), dan pembangunan kemah jemaah haji di luar Mina untuk ibadah mabit (bermalam) di Mina.
Selain perluasan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Pemerintah Saudi juga akan melakukan perluasan kawasan Mina yang akan dimulai tahun 2012, dengan harapan, Mina, setelah tiga sampai lima tahun kedepan mampu menampung jamaah haji lebih banyak lagi. Sejumlah ahli telah direkrut untuk  mengkaji kekurangan layanan bagi tamu Allah. Hasil kajian ini akan dimasukkan dalam rencana Proyek Raja Abdullah terkait pembangunan Mekkah.

Namun pertanyaan yang kemudian timbul adalah: Apakah perubahan-perubahan itu masih dapat dibenarkan oleh Syara’? Apakah tetap sah haji seseorang yang dilakukan di tempat-tempat perluasan itu?

Perluasan  Pemondokkan Mina  atau Mina Jadid
(masru’ tawsi’ah al-haramain wal masya’ir muqoddasah)

Tidak ada nash yang tegas dalam menetukan batas-batas Mina. Para Fuqaha pun, terutama Fuqaha salaf, tidak menentukan batas-batas Mina secara jelas. Kebanyakan mereka hanya menyebut batas Mina ke arah Mekkah, yaitu pada ujung Aqobah ke arah Mekkah. Kawasan di belakang Jumroh Aqobah ke arah Mekkah sudah merupakan kawasan luar Mina.

Mina adalah lembah di padang pasir yang terletak sekitar 5 kilometer dari kota Mekkah, Arab Saudi, dan masih dalam kawasan tanah haram. Mina digunakan sebagai tempat mabit pada hari tasyrik (tanggal 11, 12, 13 Dzulhuijjah). Namun Mina dikatakan mempunyai batas-batas tertentu, sehingga kawasan di luar batas Mina tidak dipandang sebagai Mina, sehingga berada di tempat itu bukanlah mabit. Panjangnya Mina sekitar 2 mil atau sekitar 3 km.

وَاعْلَمْ أنَّ مِنَى طُوْلًا مَا بَيْنَ وَادِي مَحْسَرٍ وَ أوَّلُ اْلعَقَبَةِ الَّتِيْ يَلْصِقُهَا الْجُمْرَةَ

Yaitu jarak lembah yang ada di lembah Muhassir sampai Jumrah Aqabah.[1]
 
Sedangkan lebarnya adalah kawasan di antara dua bukit. Pada saat ini bukit yang mengapit Mina telah diratakan sehingga kawasan yang ada di antara dua bukit menjadi luas. Oleh karena itu untuk memudahkan mengenalinya Pemerintah Arab Saudi pun membuat papan petunjuk bertuliskan “Nihayat Mina” (batas akhir Mina).[2]

Yang terjadi sekarang sesungguhnya bukanlah perluasan Mina (tawsi’atul mina), sehingga seolah-olah menghasilkan sebutan Mina Jadid (Mina yang baru), tetapi adalah penempatan perkemahan di luar kawasan Mina yang digunakan sebagai tempat mabit, dalam rangkaian melaksanakan wajib haji, yaitu melempar jumrah di Mina (jumrah ’ula, wustha’ dan aqabah).
Perkemahan yang ditempatkan di luar Mina itu, beberapa tahun terakhir ini, digunakan untuk mabit para jamaah haji dari Indonesia dan dari Turki. Dengan kata lain, ratusan tenda tersebut berdiri di kawasan luar Mina dan masuk kawasan Muzdalifah.Mina terletak 5 km sebelah timur Makkah. Letaknya antara pusat kota Makkah dan Arafah, tempat wukuf jamaah haji.

Mina mendapat julukan Kota Tenda, karena berisi tenda-tenda untuk jutaan jamaah haji seluruh dunia. Di padang Mina yang seluas 600 hektar, jamaah akan menginap 3 hari untuk melakukan ritual lempar jumroh. Awalnya, pemerintah Arab Saudi kesulitan untuk memperluas wilayah Mina itu karena lokasinya yang berada di celah perbukitan. Padahal, jumlah jamaah haji terus bertambah. Kalau semua harus tidur di tenda maka tidak akan cukup. Perluasan ke kanan dan kiri tidak mungkin karena menabrak gunung, sehingga kini perkemahan Mina terus meluas melewati Muzdalifah.

Masalah yang timbul selanjutnya adalah Jarak Muzdalifah-Mina itu hanya lima kilometer. sehingga tenda-tenda yang dirikan melewati batas wilayah mina dan tenda terus didirikan meskipun menyeberang ke wilayah Muzdalifah. Wilayah perluasan Mina ke Muzadalifah itulah yang oleh orang Indonesia disebut Mina Jadid. Jamaah haji Indonesia selalu mendapat tempat di wilayah perluasan tersebut. Namun mereka yang tidak tahu asal-usulnya tidak akan menyadari kalau ternyata mereka tidur di tanah Muzdalifah, bukan di Mina. Tenda paling belakanglah yang menjadi batas kedua wilayah tersebut. Dan disitu terdapat papan petunjuk yang tertulis batas akhir mina (nihayat Mina).

Penggunaan istilah Mina Jadid menyebabkan munculnya kontroversi. Ada yang mengatakan bermalam di wilayah Mina Jadid itu tidak sah. Karena sesungguhnya berada di Muzdalifah. Sedangkan di Muzdalifah ada prosesi tersendiri. Supaya tidak ada yang merasa menginap di Muzdalifah, Depertamen Agama menggunakan kata Mina Jadid itu yang artinya Mina baru.

Sebagian jamaah menganggap mabit di Mina Jadid tidak sah karena mengganggapnya di luar Mina. Tahun 2011 jamaah haji reguler di Mina menempati 70 maktab, yang sebagian lokasinya jauh dari Jamarat. Perkemahan jemaah haji Indonesia di Mina, seperti tahun sebelumnya, sebagian besar berlokasi di Haratul Lisan dan ada juga yang berlokasi di Mina Jadid; karena itu, di malam hari mereka memasuki Mina, duduk-duduk lesehan, sembari menunggu pergantian hari untuk melempar jumroh. Yang pemondokannya dekat Mina, lebih memilih tinggal di pemondokan, malam hari baru memasuki Mina. Atau mendekati posko haji Indonesia di Mina.

Selain Indonesia, sejumlah jamaah negara di India, Pakistan dan Bangladesh juga menempati Mina Jadid. Mina Jadid dihuni oleh maktab 1-9. Tiap maktab berisi 2.900 orang. Jarak yang jauh dari lokasi lempar jumroh menjadi kendala. Ke Jamarat 7 km. pulang pergi 14 km, kemudian dari Jamarat bersambung ke Masjidil Haram untuk tawaf ifadhoh dan sa’i kira-kira 5 km, jadi totalnya kurang lebih 14 km ditambah pulang pergi ke Masjidil Haram 10 km jadi 28 km.[3]

Pemerintah Arab Saudi juga terus memikirkan solusi bagaimana jamaah haji bisa leluasa bermalam di Mina. Solusi itu antara lain, Saudi akan membangun dua proyek raksasa di Mina: gedung bertingkat dan tenda bertingkat. Kedua proyek itu akan dibangun setelah musim haji tahun ini dan diharapkan mampu mengakomodasi 1,5 juta jamaah haji di masa mendatang. Bila kedua bangunan itu berdiri, maka Mina diharapkan akan mampu menampung 3 juta jamaah. Lokasi pembangunan proyek itu adalah lereng pegunungan yang mengelilingi Mina.[4]

Hukum Mabit di Mina

Pada tanggal 8 Zulhijjah  semua jamaah haji  yang saat itu berada di Makkah diberangkatkan ke Arafah. Setelah wukuf, mereka balik menuju Muzadalifah. Di sana harus berhenti paling tidak sampai tengah malam. Setelah itu baru melanjutkan perjalanan ke Mina dan menginap di sana.[5]

Mabit di Mina pada malam Arafah (hari Tarwiyah malam) disepakati hukumnya sunnat, tidak wajib. Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat mengenai hukum mabit di Mina pada hari-hari Tasyriq (tanggal 11,12,dan 13 Dzulhijjah). 

Berikut adalah pendapat para ulama madzhab tentang Mabit di Mina dengan dalil-dalil yang dipergunakan:

1. Menurut Madzhab Hanafiyah (beserta Ulama yang Tidak Mewajibkan Mabit di Mina)
Mabit merupakan sunnah haji karena Mabit di mina bertujuan untuk memudahkan para jamaah haji dalam melontar jumroh yang waktunya bersamaan dengan mabit, yaitu hari-hari Tasyriq. Dan tidak ada dam (denda) bagi yang meninggalkannya. Tetapi mereka dianggap musi’ (berbuat tidak baik melanggar peraturan).[6]

Dalilnya:
  • Hadits riwayat Ibnu Abbas RA: “ jika engkau hendak melontar jumroh, bermalamlah dimanapun engkau inginkan.”
  • Hadits ibnu Umar RA: “Rasulullah SAW melakukan thawaf ifadhah pada hari qurban (nahr), kemudian kembali lagi lalu sholat zuhur di Mina.”
(tidak ada perintah tegas dari Nabi SAW untuk mabit).
  • Nabi member idzin (adzdzana) kepada Abbas RA untuk bermalam di Mekkah pada hari-hari Mina karena dia menjadi petugas siqayah[7] (penyedia air minum untuk jamaah haji yang dikerjakan secara turun temurun oleh keluarga Bani Hasyim).
 
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: استأذن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أن يبيت بمكة ليالي منى من أجل سقايته فأذن له
  • Hadits dari Ashim Bin Adi: “Rasulullah SAW member izin kepada para penggembala untu untuk tidak bermalam di Mina. Mereka melontar Jumroh aqobah pada hari nahr, kemudian mereka pada dua hari, kemudian melontar pada hari nafar.”
 
عن عاصم بن عدي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أرخص لرعاء الإبل في البيتوتة خارجين عن منى يرمون يوم النحر ثم يرمون الغد ومن بعد الغد ليومين ثم يرمون يوم النفر

Untuk kedua hadits terakhir ini tidak mengindikasikan adanya kewajiban mabit di Mina. Seandainya wajib tentu tidak diizinkan oleh nabi SAW dan tentu dikenai denda karena meninggalkan bagian yang wajib.

2. Menurut Mazhab Malikiyyah

Mabit di Mina merupakan bagian dari wajib haji disamping singgah di Muzdalifah, melontar Jumroh, Tahallul dan membayar Fidyah.

Dalilnya:
  • Nabi SAW bermalam di Mina pada hari Tasyriq (khudzu ‘anni manasikakum).
  • Nabi member idzin (adzdzana) kepada Abbas RA untuk bermalam di Mekkah pada hari-hari Mina karena dia menjadi petugas siqayah (penyedia air minum untuk jamaah haji yang dikerjakan secara turun temurun oleh keluarga Bani Hasyim). Menurut pandangan Malikiyyah, rukhshah ini khusus diberikan Nabi SAW kepada Abbas RA dan tidak berlaku untuk semua orang. Sesuai qaidah ushul Fiqih :’At-Ta’bir bir-Rukhshah yaqtadhi an maqabalaha ‘azimah’. (ketiadaan rukhsah bagi yang lain akan berlaku sebaliknya, yaitu azimah (keharusan).
  • Umar Bin Khattab menganjurkan agar seluruh jamaah haji segera berkumpul di Mina dan bermalam disana.
Konsekuensi bagi yang tidak mabit di Mina adalah membayar dam (denda).

3. Menurut Mazhab Hanabilah

Wajib mabit pada hari Tasyriq bagi selain siqayah dan pengembala unta (ri’a’ al-ibil)[8].

Bagi jamaah haji yang sengaja meninggalkan mabit tanpa udzur tersebut akan dikenai dam. Jenis dam bisa berupa makanan (ukuran satu mud) atau uang (dirham).[9]

4. Menurut Mazhab Syafi’iyyah

Qaul masyhur: wajib mabit di Mina. Disyaratkan hendaknya sebagian besar dari malam yang dijalaninya dalam malam hari-hari tasyriq bagi mereka yang tidak terburu-buru. Adapun bagi mereka yang terburu-buru dan menginginkan keluar dari Mina menuju Mekkah pada hari kedua Tasyriq, maka kewajiban pada hari berikutnya melontar jumroh pada hari itu gugur. Namun bagi mereka yang mempunyai udzur seperti siqayah, ri’a’ al-ibil, dan orang yang menghawatirkan dirinya dan hartanya terancam disebabkan mabit di Mina[10], diberikan rukhshah untuk tidak mabit dan tidak tinggal di Mina. Namun tetap harus melontar jumroh.

Dalilnya:

QS. Al-Baqarah: 103; “ Barangsiapa ingin cepat berangkat (ke Mina) sesudah dua hari maka tidak ada dosa baginya.”

Kadar mabit:
  • Mu’zham al-lail (mabit semalam penuh)
  • Hadir beberapa waktu pada saat terbitnya fajar
Konsekuensinya adalah: bagi jamaah yang meninggalkan mabit selama tiga hari berturut-turut dikenakan satu dam.sedangkan jika meninggalkan satu hari saja, maka dia harus membayar satu mud makanan; atau dirham; atau sepertiga dam tiap malamnya.
Pendapat diatas menggambarkan terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama madzhab dalam menentukan apakah jamaah haji diperbolehkan mabit diluar Mina atau tidak.  Mayoritas ulama madzhab menyatakan kewajiban mabit di Mina pada malam hari-hari Tasyriq. Melihat dari kondisi yang saat ini terjadi karena tidak tertampungnya seluruh jamaah saat mabit di Mina.[11]

Yang terjadi sekarang sesungguhnya bukanlah perluasan Mina (tawsi’atul mina), sehingga seolah-olah menghasilkan sebutan Mina Jadid (Mina yang baru), tetapi adalah penempatan perkemahan di luar kawasan Mina yang digunakan sebagai tempat mabit, dalam rangkaian melaksanakan wajib haji, yaitu melempar jumrah di Mina (jumrah ’ula, wustha’ dan aqabah).
Perkemahan yang ditempatkan di luar Mina itu, beberapa tahun terakhir ini, digunakan untuk mabit para jamaah haji dari Indonesia dan dari Turki. Dengan kata lain, ratusan tenda tersebut berdiri di kawasan luar Mina dan masuk kawasan Muzdalifah.

Pertanyaan yang muncul adalah sahkah mabit di luar kawasan Mina tersebut?

Ulama yang membolehkan (mensahkan mabit di luar Mina)

Dengan mensyaratkan perkemahan tersebut bersambung (ittishal al-mukhayyamat) dengan perkemahan yang ada di Mina. Hal ini dikiaskan/diilhaqkan dengan sahnya sholat jum’at yang harus berada di Masjid. Jika masjid telah penuh, maka bisa melebar keluar asalkan safnya bersambung (ittishal al-shufuf). Dan karena jamaah bersambung dengan jamaah masjid dan mengetahui gerakan imam, maka shalatnya dianggap sah, tidak perlu melakukan shalat zuhur sebagai pengganti sholat tersebut.[12]

Dalil-dalil atas ke-sah-annya adalah:
  • Qoidah ad-dharar yuzalu
الضرر يزال

“sesuatu yang menimbulkan bahaya harus dihilangkan.”
  • Qoidah Al-Masyaqqoh Tajlibut Taysir
المشقة تجلب التيسير

“kesulitan mendatangkan kemudahan.”
  • Qoidah Al-Amru idza dhooqo  ittasa’a
الأمر إذا ضاق اتسع

“jika suatu keadaan menyempit dan menyulitkan maka dimungkinkan diperluas atau dipermudah.”

Kaidah-kaidah tersebut bertujuan agar ketentuan-ketentuan syariah dapat dapat dilaksanankan oleh mukallaf kapan dan dimana saja dengan memberikan kelonggaran dan dispensasi apabila mukallaf itu mengalami kesulitan dalam melaksanakannya. Kaidah-kaidah ini merupakan penjelasan dari ketidaknyamanan yang disebutkan dalam berbagai aspek yang ada di Mina pada paragraph-paragraf sebelumnya. Juga perluasan perkemahan Mina ini merupakan alternative yang saat ini bisa ditempuh sebelum terselesaikannya perkemahan Mina yang bertingkat dan permanen.
  • Qoidah hukmul hakim ilzaamun yarfa’ul khilaaf.
حكم الحاكم إلزام يرفع الخلاف

“Putusan penguasa mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat”
  • Q.S. An-Nisa:59
يأيها الذين ءمنوا أطيع الله وأطيع الرسول وأولي الأمر منكم

“hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu.”

Sebagai pelayan dan penanggung jawab pelaksanaan haji, Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan perluasan area mabit sampai ke Muzdalifah. Keputusan tersebut tentunya dengan mepertimbangkan kemaslahatan jamaah haji dan setelah mendapat pertimbangan para ahli termasuk Mufti kerajaan dan para ulama yang tergabung dalam Hay’at Kibar al-ulama (Majelis Ulama Besar).

Persoalan ini dianggap sudah jelas. Bahwa jamaah haji yang tinggal di luar Mina diharuskan beranjak menuju Mina dan mabit di sana selama mu’jam al-lail (separuh malam lebih) dari malam hari tasyrik. Sementara jamaah haji yang tidak bisa mabit di Mina diharuskan membayar dam (denda) karena meninggalkan manasik haji.
  • Q.S. Al-Baqarah: 185
يريد الله بكم اليسر ولا يريدبكم العسر

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
  • Q.S. Al-A’raf: 157
الذين يتبعون الرسول النبي الأمي الذي يجدونه مكتوبا عندهم في الإنجيل يأمرهم باامعروف وينهاهم عن المنكر ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث  ويضع عنهم إصرهم والأغلال التي كانت عليهم فالذين ءامنوا به وعزروه ونصره واتبعوا النور الذي أنزل معه أولئك هم المفلحون

“(yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (namanya) mereka dapati tertulis did alam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Ayat ini merupakan gambaran tentang kondisi sempit dan sulit yang disingkirkan oleh syariat Islam dengan kelonggaran dan kemudahan.
  • Hadits tentang sahabat Abbas RA yang menjadi Siqayah
  • Hadits tentang ri’a’ al-ibil
  • Hadits tentang orang yang menjaga harta bendanya
Kebolehan tidak bermabit di Mina pada tiga ‘golongan’ di atas dipersamakan oleh banyak ulama dengan mereka yang memiliki urusan yang dikhawatirkan luput atau tertanggu. Atau orang sakit yang membutuhkan perawatan, atau orang yang mengalami kondisi darurat atau beban kesulitan yang jelas. Dalam hal rukhshah untuk tidak mabit di Mina, orang yang kondisinya sama dengan mereka, bahkan lebih, adalah orang yang tidak mendapatkan tempat yang pantas untuk mabit. Begitu juga dengan orang yang keluar untuk thawaf di Baitullah, lalu ia tertahan oleh konsentrasi massa sehingga tertinggal bermalam di Mina. Mabit di luar Mina itu disebabkan oleh faktor eksternal, bukan merupakan perbuatan atau keinginannya sendiri, dan ia tidak sanggup menghilangkan factor tersebut. Dan mereka yang mabit di luar Mina karena factor-faktor tersebut bisa dikategorikan sebagai orang yang uzur sehingga tidak diwajibkan membayar dam atas itu.[13]

Jika tetap dipaksakan untuk bermabit di Mina sesuai dengan batasan yang telah disebutkan tadi maka hal ini dapat membahayakan jamaah. Dan ini tentu saja membahayakan jamaah malah bertentangan dengan prinsip hukum Islam laa dharaar wa laa dhiraar (tidak ada perbuatan memudharatkan dan membalas perbuatan memudharatkan). Dan Firman Allah Q.S. Al-Maidah: 6 “Allah tidak ingin memberikan kesulitan kepadamu.”

Dan konsekuensi logis dari mabit di luar Mina yaitu para jamaah haji tersebut mengambil nafar awal dikarenakan lokasi pemondokan yang sangat jauh dari Jamarot (tempat pelontaran). Jamaah yang berada di Mina Jadid harus berjalan kaki sejauh 7 kilometer. Dengan demikian, sekitar 70 persen jamaah haji Indonesia melakukan nafar awal dan sisanya mengambil nafar tsani.

Sebagian ulama yang melarang diadakannya mabit di luar Mina adalah karena menurutnya tempat-tempat haji dan waktunya telah ditetapkan oleh syariat, di sana tidak (ada) tempat untuk melakukan ijtihad. Rasulullah SAW saat melakukan haji bersabda, ‘Hendaklah kalian mengambil manasik (haji) kalian dariku, boleh jadi aku tidak bertemu dengan kalian setelah tahun ini’ oleh karena itu Beliau Nabi SAW telah men jelaskan waktu-waktu dan tempat-tempat (pelaksanaan ibadah haji).

Batasan Mina adalah dari Wadi Muhassir hingga Jumrah Aqabah. Maka siapa yang menunaikan ibadah haji, hendaknya dia mencari tempat di dalam batas wilayah Mina, jika tidak mampu, maka dia boleh berdiam di tempat terdekat sesudahnya, dan tidak mengapa baginya.

Namun sebagian besar ulama menyebut sah untuk menjadi lokasi mabit, karena ada kondisi darurat, dan Ulama Arab Saudi menganggap sah. Mereka menyebut ini perluasan Mina, kemah di Mina bersambung ke Mina Jadid.

Dengan pertimbangan di atas, maka diperbolehkan mabit di Mina Baru sebagaimana diperbolehkan mabit di Mina yang lama. Ini karena kota Mina Baru masih mengikut kepada Mina yang lama. Di dalam kaidah fiqih disebutkan, ungkapan ini berarti Sesuatu yang mengikut statusnya sama dengan yang diikuti (al ashlu baqa’u ma kana ala maa kana). Permasalahan ini juga berlaku pada pemugaran Masjidil Haram di Makkah, dan Masjid Nabawi di Madinah Oleh karena itu, tidak ada seorang ulama pun yang menyangkal bahwa pelaksanaan shalat di bangunan yang baru dari kedua masjid tersebut akan mendapatkan pahala, sebagaimana di lokasi yang lama pada masa Nabi Muhammad Saw. Sikap tersebut menunjukkan kesepakatan mereka mengenai kebolehan shalat di bangunan masjid yang baru dan perolehan pahala yang sama.

Perluasan areal mabit di Mina ilhaq dengan tawsi’ah shufufi al-shalat untuk shalat Jum’ah sepanjang terjadi persambungan antara perkemahan jamaah haji. Praktek istidlal tersebut bermuara pada ilhaq atau pengembangan hukum secara qiyas (analogi).

Jika pemerintah Saudi tetap terpaksa akan menempatkan sebagian jamaah haji untuk mabit di kemah kawasan perluasan kawasan Mina di Muzdalifah maka kita harus mengantisipasi kebijaksanaan Pemerintah Arab Saudi tersebut.

Mabit di perluasan kemah di kawasan luar Mina hukumnya sah seperti di Mina, sebagaimana ijtihad dan pendapat para ulama Saudi dan lainnya dikarenakan darurat. Hanya pelaksanaan melontarnya saja yang diatur. Tetapi apabila nanti pemerintah Saudi Arabia telah rampung membangun gedung-gedung tinggi di Mina sehingga mampu menampung seluruh jamaah haji, maka seluruh jamaah haji yang mabit di luar Mina tersebut harus kembali mabit di Mina.

«منى الجديدة»… كانت «مزدلفة».. وأصبحت «منى»!
الإثنين, 07 نوفمبر 2011
منى – عبدالواحد الأنصاري
«منى الجديدة» … عبارة أصبحت تجري على ألسن الحجاج والمطوفين ومشرفي الحملات، بيد أن أي متابع للجدل الفقهي الذي دار قبل أعوام يدرك أن هذه المنطقة كانت جزءاً من مزدلفة، يطلق عليها «نهاية مزدلفة». وأفتى العلماء في العقود الماضية بأن المبيت في «منى الأصلية» واجب وجوباً لا مناص منه، وفي حال تخلّف الحاجّ عنه فإنه يلزمه دم، لأنه أخلّ بواجب من الواجبات.
ومع امتداد المخيمات في منى، في المنطقة التي تقع ما بين نهاية مزدلفة وجسر الملك فيصل، أصبح المتعارف إطلاقه على هذا الموضع «منى الجديدة».
لكن اللافت لمتابعين وعدد من الحجاج، وما يثير أسئلة متشابكة، أنه على رغم اعتبار هذه المنطقة جزءاً من منى «اضطراراً»، وبناء على فتاوى علماء اعتبروها كذلك لواقع اتصال الخيام والتصاقها ببعضها بعضا»، فإن الحجاج الذين يقيمون في «منى الجديدة» حين عادوا من عرفة، اتجهوا إلى مخيماتهم التي هي مزدلفة في الأصل، وباتوا الليل فيها. ثم باتوا فيها أيضاً -يوم أمس- على أنها أصبحت منى عُرفاً.
ووفقاً لفتوى أصدرها الشيخ ابن عثيمين في الأعوام الماضية تقتضي جواز ذلك مع اشتداد الزحام وتواصل الخيام، فإن بعض العلماء لا يقرّون بأن هذه المنطقة يصح تسميتها وإطلاق «منى الجديدة» عليها، وإن جاز لمن لا يستطيع المبيت في منى أن يبيت في أي مكان آخر، وهذا ما يرويه بعض تلاميذ الشيخ عبدالعزيز بن باز رحمه الله أنه أفتى به عام 1417، ويقول به بعض العلماء الموجودين، ومن بينهم عضو هيئة كبار العلماء الدكتور عبدالكريم الخضير.
وفي سؤال وجه إليه سابقاً: «ما حكم المبيت بما يسمى منى الجديدة أو توسعة منى، مع العلم أننا لم نتأكد هل في منى زحام أم لا؟ أجاب مستنكراً: «كيف منى الجديدة؟ وكيف تكون لمنى توسعة؟ هل هي تقبل التوسعة؟ مشعر معروف الحدود والأطوال من جميع الجهات، فلا تقبل التوسعة، «يعني لو ضحكوا» على من يقتدي بهم وقالوا: «هذا من منى الجديدة، فما معنى منى الجديدة؟ هذا مكان لا يقبل التوسعة»، مشيراً إلى أنه في حال الاضطرار إلى المبيت خارج هذا المشعر فلا فرق بين المبيت خارجها سواء أكان جهة مزدلفة أم أي جهة أخرى، موضحاً ذلك بقوله: «من بات خارج حدود منى فهو خارج منى، سواء كان في مزدلفة أو في مكة أو يمينها أو شمالها، ومنى معروفة الحدود والأطوال، ولا شك أنه إذا فرط ولم يبحث عن مكان أنه آثم من جهة ويلزمه ما يلزم تارك الواجب». ويقتضي مفهوم فتوى أخرى للخضير «أن المبيت تحت الجسور وعلى الأرصفة في حال الأمن من الخطر أحوط من المبيت في «منى الجديدة»، ولا يرى فرقاً مع تعذر المبيت في «منى القديمة» منه بجوارها، أو بعيداً عنها في مكة، وأردف: «المبيت بمنى واجب من واجبات الحج، لا يجوز للحاج تركه إلا لعذر فإن تركه من غير عذر لزمه دم عند كثير من أهل العلم، هذا مع تيسر المكان في منى، أما إذا بحث عن مكان في منى ولم يجد فهو معذور، فيبيت حينئذ في أقرب مكان من منى قرب الحجاج، ليتحقق بذلك بعض المنافع المترتبة على هذه المناسك، وإن بات بعيداً عنهم في مكة فلا أرى ما يمنع من ذلك، وإن تحمل الحاج فبات في الطرقات أو الأرصفة مع أمن الخطر عليه فهو أحوط، وأبرأ للذمة». يذكر أن حدود «منى الجديدة» تقع ما بين جسر الملك فيصل شرقاً، وبداية منى القديمة غرباً.


حدود  منى
حسن الجواهري

حدود مِنى : بكسر الميم و التنوين ، سُمّيت بذلك لما يُمنى فيها من الدماء.
و قيل: إنّها سُميت لما يُمنى فيها من الدعاء.
و قيل: لِما رُويَ عن ابن عبّاس: آ«أنّ جبرئيل(عليه السلام) لمّا أراد أن يُفارق آدم(عليه السلام) قال له: تَمَنَّ. قال: أتَمنَّى الجنَّة، فُسُمِّيت بذلك لأمنيتهآ»50.
و قيل: آ«سمّيت منى لأنّ جبرئيل أتى إبراهيم(عليه السلام) فقال له تمنَّ على ربِّك ما شئتآ». فسُمِّيَت منى، واصطلح عليها الناس، و في الحديث آ«أنّ إبراهيم تمنّى هناك أن يجعل الله مكان ابنه كبشاً يأمره بذبحه فديةً لهآ»51. فأعطاه الله مُناه.
و قد اتّفقت الروايات على أنّ حدّ مِنى من جهة الطول من العقبة إلى وادي محسِّر على صيغة اسم الفاعل، فقد ذكر صحيح معاوية لأبي بصير عن الإمام الصادق(عليه السلام) أنّه قال: آ«حدّ منى من العقبة إلى وادي محسِّرآ»52. و جمرة العقبة هي حدّ منى من جهة مكّة، و وادي محسِّر حدّها من جهة مزدلفة، و هذا الحدّ قد ذكره المؤرّخون و الجغرافيّون أيضاً. فقد قال الأزرقي في أخبار مكّة بسنده عن ابن جريج: آ«قال: قُلت لعطاء بن أبي رباح، أين مِنى؟ قال: من العقبة إلى محسِّر، قال عطاء: فلا أحبّ أن ينزل أحد إلاّ فيما بيين العقبة و محسِّر. . .آ»53.
أقول: هذا الذي تقدّم هو حدّ لمِنى من ناحية الطول، أمّا حدّها من ناحية العرض، فهو ما بين الجبَلَين الكبيرَين بامتدادهما من العقبة حتّى وادي محسِّر، و قد ذكر الفاسي في شفاء الغرام: آ«أنّ ما أقبل على مِنى من الجبال المحيطة بها من كِلا جانبَيها فهو منها و ما أدبر من الجبال فليس منهاآ»54. و قد قال النووي في المجموع : آ«واعلم أنّ منى شِعبٌ ممدودٌ بين جبَلَين أحدهما ثبير و الآخر الصابح. قال الأصحاب: ما أقبل على مِنى من الجبال فهو منها و ما أدبر فليس منهاآ»55.
أقول: كأنّ مِنى لا تحتاج إلى أن تحدّد من ناحية العرض لوجود هذَين الجبلَين الكبيرين المفروض أنّهما حدُّ للمنطقة، فكأنّ السؤال في الروايات عن حد خاص من ناحية مكّة و مزدلفة فذكرته الروايات.
العقبة هل هي من مِنى؟
الجواب: بقرينة اتّفاقهم على أنّ (محسِّراً) ليس من مِنى، و إنّما هو حدّ لها فكذلك العقبة، لاقترانها هي اْلأُخرى بأداة التحديد و هي (من)، و لكن حكى عن بعض الفقهاء: أنّ العقبة من مِنى وليست حدّاً لها.
و سُمّيت بالعقبة لأنّها مدخل مِنى من الغرب، و سُمّيت الجمرة هنا بجمرة العقبة.
مشكلة الذبح : و على ما تقدّم من حدود مِنى، تواجهنا مشكلة حاليّة بناءً على ما اتّفقت عليه الإماميّة من وجوب الذبح في مِنى، حيث إنّ المذبح الذي أوجدته الحكومة السعوديّة يكون خارج مِنى حسب العلامات التي نصبت هناك، وتمنع الحكومة الذبح في غير هذه الأماكن التي أعدّتها للذبح حتّى في الأيّام اْلأُخرى بعد يوم النحر و أيّام التشريق، فهل من مخرج لهذه المشكلة العويصة؟
و تشتدّ هذه المشكلة على الناس فيما إذا علمنا أنّ الذبح خارج مِنى لا يجزي، إذ ليس المورد من موارد التقيّة، فإنّ مورد التقيّة فيما إذا كان المكلّف غير معروف المذهب، فلا يعمل بما هو الحقّ عنده خوفاً من الظالم ، و الواقع القائم الآن بخلافه تماماً، لأنّ المكلّف معروف المذهب، و معلوم أنّه لا يعتقد صحّة الذبح خارج مِنى، و أنّه يريد الذبح في مِنى، إلاّ أنّ المنع الحكومي الناشئ من أنّ من يخالف و يشقّ عصا طاعة وليّ الأمر لا يجوز إقراره على مخالفته من أيِّ مذهب كان.
و على هذا يكون المورد إذا كان هناك إجبار على الذبح في المسلخ على المكلّف، من باب ارتكاب أخفّ المحظورَين و أقلّ الضررَين (يُريدُ الله بِكُمُ اليُسْرَ وَلا يُريدُ بِكُمُ العُسْرَ )، (وَما جَعَلَ عَلَيْكُمْ في الدِّينِ مِنْ حَرَج )، فهو من باب قوله(عليه السلام): آ«لإِن أفطر يوماً ثمّ أقضيه أحبّ إليَّ من أن تضرب عنقيآ»، و أمّا إذا لم يكن إجبارٌ على الذبح و ذَبَحَ خارج مِنى فهو لا يجزيء أيضاً. و على هذا فيجب القضاء على المكلّف لهذا النسك إذا تمكّن بعد ذلك في بقيّه أيّام ذي الحجّة، أو أن يخلف ثمنه عند عدل ليشتري له هدْياً و يذبحه في شهر ذي الحجّة.
فهل توجد طريقة للتخلّص من هذه الطريقة و تقول بالاكتفاء بالذبح في المذبح الحالي الذي هو خارج مِنى؟
الجواب: توجد عندنا روايات معتبرة تقول: إذا ازدحمت مِنى بالناس ارتفعت إلى وادي محسِّر، فيكون وادي محسِّر حكمه حكم منى، و حينئذ يكون الذبح في المذبح الحالي مجزياً، ففي معتبرة سماعة قال: آ«قلت للصادق(عليه السلام): إذا كثر الناس بمِنى و ضاقت عليهم كيف يصنعون ؟ فقال: يرتفعون إلى وادي محسِّر . . .آ»56.
فهل يمكن الاكتفاء بهذه الرواية للذبح خارج الحدّ و الوقوف كذلك؟!
إذا كان الجواب بالإيجاب فتنحّل مشكلة مهمّة.

Saran dan rekomendasi

Seluruh pemaparan ini disarikan dari dua buah buku yang secara komprehensif telah membedah persoalan tersebut di atas. yaitu: (1) buku Hasil Mudzakarah Mabit diluar Kawasan Mina Tahun 2001M, dan (2) buku Perluasan Mas’a, Jamaraat dan Mabit di Luar Mina Tahun 2008, yang keduanya adalah produk Kementerian/Departemen Agama. Mengingat cukup bermanfaat dua naskah tulisan yang berhasil kami temukan dari saudi arabia berkenaan dengan hal ini, maka dua naskah tersebut juga kami lampirkan.

Kami harapkan agar DEPAG RI selaku pengurus dan wakil dari jamaah haji Indonesia mensosialisasikan peluasan perkemahan diluar Mina dengan menerangkan ketiadaan Mina Jadid disertai dengan dalil hukumnya kepada masyarakat luas. Dan Pemerintah RI dalam hal ini DEPAG dapat menyampaikan dan memusyawarahkan secara berkelanjutan tentang kebutuhan fasilitas dan system perbaikan dan pelayanan ibadah haji dan umroh kepada Pemerintah Saudi Arabia.

Wallahu A’lam Bisshawab

Referensi:

1.    Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji - Direktorat Pembinaan Urusan Haji
2.    Hasil Mudzakarah Mabit Di Luar kawasan Mina Tahun 1421 H/2001 M
3.    Badan Litbang dan Diklat Depag RI
4.    Perluasan Mas’a, Jamarat dan Mabit di Luar Mina, tahun 2008

End Note :
__________________ 

[1] Lihat I’anatut thalibin II/304

[2] Dalam kitab Tarikh Makkah jilid II (Al-Azraqi) disebutkan batas-batas Mina adalah dari Jumroh Aqobah sebelah barat yang diapit kedua gunung sampai ke Wadi Muhassir sebelah timur.

Diceritakan oleh Abdul Walid, katanya kakekku Ahmad bin Muhammad bercerita kepadaku, bahwa Muslim bin Khalid Az-Zinji menceritakan kepadaku, dari Ibnu Juraij ia berkata, saya bilang kepada Atha’: dimana Mina? Dia berkata: dari Aqobah sampai ke Muhassir. Menurut Al-Faqihi: dari Aqobah yang ada jumrohnya sampai wadi Muhassir. Al-Fasi menyebutkan : disekitar gunung-gunung yang mengelilinginya.  Siapa yang berhadap-hadapan dengan Mina ia termasuk bagian dari Mina, dan siapa yang membelakanginya ia tidak termasuk bagian dari Mina.

[3] Tahun 2011 Indonesia mendapatkan kuota 211 ribu (reguler dan plus) ditambah tambahan kuota 10 ribu (7.000 reguler, 3.000 plus). Hanya saja, meski ada tambahan 10 ribu, fasillitas kemah di Arafah, Mina, atau fasilitas umum misalnya MCK dan dapur, tidak ditambah, karena Tahun 2011 Indonesia mendapatkan kuota 211 ribu (reguler dan plus) ditambah tambahan kuota 10 ribu (7.000 reguler, 3.000 plus). Hanya saja, meski ada tambahan 10 ribu, fasillitas kemah di Arafah, Mina, atau fasilitas umum misalnya MCK dan dapur, tidak ditambah, karena

[4] Infrastruktur pendukung juga akan dibangun termasuk jalan-jalan, pedestrian, dan stasiun kereta baru. Dewan Ulama Senior akan diberi penjelasan detail tentang desain rencana itu. Selain jajaran tenda moderen, saat ini di Mina juga terdapat 6 gedung bertingkat kembar. Menurut ahli ekonomi, keenam gedung itu telah mampu menghasilkan laba bersih 100 juta riyal, yang menunjukkan bahwa proyek yang akan dibangun itu bisa menguntungkan.

Gubernur Mekkah Osama Al-Bar menyatakan bahwa proyek baru yang diluncurkan oleh Raja Abdullah akan meningkatkan Bisnis di Mekkah dan akan menarik investasi baru di tanah suci seharga SR 100 milyar.( “Every SR1 billion spent by the government would encourage the private sector to invest an additional SR5 billion. This way public investment would have a multiple effect on the economy”)

[5] Bagian Tata cara berhaji yang terjadi sebelum dan ada didaerah Mina adalah:
  •  9 Zulhijah, pagi harinya semua jamaah haji pergi ke Arafah. Kemudian jamaah melaksanakan ibadah Wukuf, yaitu berdiam diri dan berdoa di padang luas ini hingga Maghrib datang. Ketika malam datang, jamaah segera menuju dan bermalam Muzdalifah.
  • 10 Zulhijah, setelah pagi di Muzdalifah, jamaah segera menuju Mina untuk melaksanakan ibadah Jumrah Aqabah, yaitu melempar batu sebanyak tujuh kali ke tugu pertama sebagai simbolisasi mengusir setan. Setelah mencukur rambut atau sebagian rambut, jamaah bisa Tawaf Haji (menyelesaikan Haji), atau bermalam di Mina dan melaksanakan jumrah sambungan (Ula dan Wustha).
  • 11 Zulhijah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.
  • 12 Zulhijah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga
[6]Lihat kitab Bada’I al-Shana’i

[7]Tugas Siqayah dapat dianalogikan dengan tugas kerajaan Saudi dalam memberikan pelayanan, kenyamanan, dan fasilitas ibadah haji saat ini.

[8] Ri’a’ al-ibil atau penggembala unta dapat dianalogikan saat ini dengan para supir transportasi kebutuhan para jamaah haji saat ini.

[9]Menurut sebagian ulama Hanabilah, sepertiga dam tiap pelanggaran satu hari. Jika mabit tiga hari berarti dendanya satu dam (1/3 x 3 hari).

[10] Orang-orang yang udzur karena factor-faktor tertentu seperti khawatir jika jiwanya terancam, hartanya hilang karena mabit, petugas kesehatan, orang yang mengalami gangguan penyakit sehingga sulit mabit, orang yang tersesat, dll. Apakah kategori seperti ini juga merupakan golongan orang yang mendapatkan rukhshoh untuk tidak mabit di Mina?

[11] Dalam kitab Tarikh Makkah jilid II (Al-Azraqi)disebutkan batas-batas Mina adalah dari Jumroh Aqobah sebelah barat yang diapit kedua gunung sampai ke Wadi Muhassir sebelah timur.

Diceritakan oleh Abdul Walid, katanya kakekku Ahmad bin Muhammad bercerita kepadaku, bahwa Muslim bin Khalid Az-Zinji menceritakan kepadaku, dari Ibnu Juraij ia berkata, saya bilang kepada Atha’: dimana Mina? Dia berkata: dari Aqobah sampai ke Muhassir. Menurut Al-Faqihi: dari Aqobah yang ada jumrohnya sampai wadi Muhassir. Al-Fasi menyebutkan : disekitar gunung-gunung yang mengelilinginya.  Siapa yang berhadap-hadapan dengan Mina ia termasuk bagian dari Mina, dan siapa yang membelakanginya ia tidak termasuk bagian dari Mina.

[12] Lihat kitab “Minah al-Jalil Syarh Mukhtashor al-Khalil 2/454

[13] Lihat An-Nawawy dalam Al-Majmu’ jilid 8 hal 274.



Ditulis oleh : KH. Saifuddin Amsir
Source : Yayasan Shibghatullah

Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yang baik mencerminkan diri anda. Terima kasih...

 
Beranda | Profil | Kontak | Sambutan
Copyright © 2011-2015. Nururrahman - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger